Semalam saya dibuat kesal dengan cerita Hani, yang malam-malam ditengah mengerjakan PR pribadinya, dia bilang, "Bun, Hani belum bikin naskah drama pelajaran Agama untuk besok.."
Saya kaget, karena setahu saya, dia sudah mengerjakan tugas bagiannya sebelum libur krn Ujian kls 6 minggu lalu. Tugas drama ini adalah tugas kelompok (8 orang), yang kebetulan anggota lainnya rumahnya berdekatan, sementara Hani yang jauh sendiri. Maka, sebelum libur, dia sudah menyusun sebagian naskah drama, dikasih ke temennya, supaya ketika mereka berkumpul untuk kerja kelompok (yang tidak bisa Hani hadiri), mereka tinggal melanjutkan saja.
Saya tidak membantu Hani menulis naskahnya, saya biarkan saja dia asyik klutekan sendiri menulis, berdasarkan cerita-cerita dari buku, plus sesekali bertanya pada saya tentang kisah masa kecil Nabi Muhammad SAW. Dan saya lihat dia sudah menulis hingga dua halaman A4. Saya biarkan saja dia diskusi dengan temannya via telp, paling sesekali diingatkan kalau sudah mulai out of focus alias 'ngerumpi'.. Karena saya pikir, sudah waktunya dia mandiri dalam mengerjakan tugas sekolahnya, tidak -melulu- dibantu bunda.
Nah, ketika liburan, dia sudah tenang karena sudah merasa mengerjakan tugas. Padahal saya menawarkan untuk mengantarkan ke rumah temannya yang kerja kelompok, tapi dia nggak mau, "kasian bunda, nanti capek" (baik beneerrr..:)).
Ternyata eh ternyata, ketika hari Jumat masuk sekolah kembali, salah satu anggota kelompoknya bilang, naskah belum selesai, karena ketika grupnya berkumpul, bukannya mengerjakan tugas, malah cuma main. Lalu temannya itu menyanggupi untuk melanjutkan naskahnya, mau browsing di internet katanya. (Eeerrrr... kalau kisah sejarahnya browsing oke lah, tapi naskah drama? browsing?)
Dan semalam, Hani cerita kalo temennya di sekolah bilang, "Ternyata susah ya Han, browsing.. Kamu aja deh yang ngerjain.." (saya langsung "Whatttt??")
Lalu saya tanya ttg bagian naskah yang sudah dia kerjakan minggu lalu. Katanya, "Gak tau tuh bun, ilang katanya.." (saya tambah "Whaaatt? Howww?)
Kemudian dia bilang, bahwa naskah itu harus diketik, difotokopi sejumlah anggota, lalu tinggal dibaca di depan kelas.
Kata bu guru, yang dinilai adalah, isi, intonasi, ekspresi. Tapi lanjut Hani, kalo nggak terlibat drama nggak dapet nilai, walaupun dia yang bikin naskah.
(Bunda nggak pake "Whaattt?" lagi.. langsung koprol 3 kali aja..)
Sekarang seriusnya nih...
Pada dasarnya, saya suka dan mendukung jika pelajaran disampaikan dan dipahami dengan cara-cara yang non-konvensional. Biasanya, materi pelajaran justru lebih 'tahan lama melekat di otak' dengan metode-metode spt ini. Dan banyak hal yang bisa dipelajari dalam kerja kelompok (selain isi materi pelajarannya), antara lain :
- belajar berbagi tugas dan waktu (manajemen)
- belajar memimpin
- belajar bertanggungjawab
- belajar bekerja sama dan saling mendukung
Maka ketika hal-hal seperti cerita Hani di atas yang terjadi, saya kecewa. Bukan pada Hani, karena ia sudah berusaha melakukan tugasnya sendiri. Awalnya saya kesal dengan teman-temannya Hani, tapi lalu saya pikir, bukan sepenuhnya salah mereka jika tak paham seperti apa kerja kelompok yang baik itu. Mau nggak mau, saya jadi berpikir begini :
- Ini orangtuanya ngapain ajaaa?? Waktu berkumpul, pasti sebagian besar ortunya nganter, tidak adakah yang mengawasi, apakah anak-anaknya benar-benar berkumpul mengerjakan tugas? Atau ibu-ibunya malah ngerumpi? Saya percaya, ibu-ibu di sekolah Hani itu berpendidikan dan berwawasan luas (lha kan mampu bayar mahalll..), apa tidak ada satupun yang membantu/membimbing?
Hari gini, kerja kelompok nggak harus musti kudu dikerjain sambil ngumpul rame-rame kan? Internet ada, FB dan Twitter (dg memalsukan data usia) pada punya, tab/iphone lengkap, atau minimal telepon rumah deh..
- Ibu gurunya ngasih tugas, tapi dikasih penjelasan yang detail atau nggak, tentang cara pengerjaannya? Atau sekedar ada naskah, anak-anak baca, selesai?
Katanya isi dinilai, tapi kata Hani, kelompok yang lain juga cuma satu anak yang ngerjain, yang lain tinggal baca (bener anak itu yang ngerjain, atau orangtuanya yang bikinin?? Entah..). Lalu jika ini naskah drama, memang benar, minimal intonasi dan ekspresi jadi kriteria penilaian. But it needs practice! (Bu guru bilang, nggak usah latihan, langsung dibaca ajaa..). Lama-lama saya berpikir, kalau cerita Hani ttg gurunya ini benar, saya jadi ragu, bu guru ini paham nggak sih esensinya kerja kelompok tuh apa?
Saya sadar, Hani memang kadang-kadang diandalkan teman-temannya untuk mengerjakan tugas. Entah ada hubungannya atau tidak, saya juga mengalaminya beberapa kali ketika ada acara di sekolah. Sampai ada yang ngomong, "Tenang, kalau ada mama Hani, semua beresss..."
Tapi, menurut saya, ini sama sekali tidak mendidik jika dibiarkan terjadi pada Hani.
Saya bisa saja membantu Hani menuliskan naskahnya, lalu teman-temannya tinggal baca, bereesss.. Semua anggota kelompok dapat nilai yang sama. Rata.
Lalu apa yang mereka pelajari dari ini? Bahwa tidak perlu berusaha selama ada temannya yang bisa diandalkan? Bahwa yang penting tugas selesai dan dapat nilai? That just doesn't make sense to me..
Belajar itu bukan result-oriented, tapi process-oriented.. Apapun, kapanpun kita belajar, selalu ada hal baru yang kita peroleh, tak peduli berapa angka nilai yang tercantum pada akhirnya.
Hari ini saya akan mencoba menemui guru Hani dan berdiskusi lebih lanjut. Mudah-mudahan membawa perkembangan yang baik untuk proses belajar selanjutnya.
(to be continued...)
Sambungan :
Hari itu akhirnya saya bertemu guru Hani dan membahas masalah tugas kelompok ini. Kesimpulan, naskah drama boleh dibuat siapa saja, sendiri atau bareng-bareng. Namun, penulis naskah tetap mendapatkan ekstra kredit untuk usahanya.
Dan malamnya, karena waktu yang sangat mepet, akhirnya saya membantu Hani menyusun naskahnya. Alur cerita, dialog, pemeran tokoh, Hani yang atur, saya hanya memberi masukan-masukan dan membantu mengetik dan mencetak hingga 8 kopi. Selesai.
Apakah saya puas? Tidak.
Saya masih menganggap bahwa potensi kerja kelompok ini tidak maksimal tergali. Guru masih sekedar berusaha menyampaikan materi pelajaran dengan metode yang berbeda, namun tidak memanfaatkan proses ini sebagai sarana menanamkan berbagai karakter penting pada anak-anak.
Sayang sekali...
Saya kaget, karena setahu saya, dia sudah mengerjakan tugas bagiannya sebelum libur krn Ujian kls 6 minggu lalu. Tugas drama ini adalah tugas kelompok (8 orang), yang kebetulan anggota lainnya rumahnya berdekatan, sementara Hani yang jauh sendiri. Maka, sebelum libur, dia sudah menyusun sebagian naskah drama, dikasih ke temennya, supaya ketika mereka berkumpul untuk kerja kelompok (yang tidak bisa Hani hadiri), mereka tinggal melanjutkan saja.
Saya tidak membantu Hani menulis naskahnya, saya biarkan saja dia asyik klutekan sendiri menulis, berdasarkan cerita-cerita dari buku, plus sesekali bertanya pada saya tentang kisah masa kecil Nabi Muhammad SAW. Dan saya lihat dia sudah menulis hingga dua halaman A4. Saya biarkan saja dia diskusi dengan temannya via telp, paling sesekali diingatkan kalau sudah mulai out of focus alias 'ngerumpi'.. Karena saya pikir, sudah waktunya dia mandiri dalam mengerjakan tugas sekolahnya, tidak -melulu- dibantu bunda.
Nah, ketika liburan, dia sudah tenang karena sudah merasa mengerjakan tugas. Padahal saya menawarkan untuk mengantarkan ke rumah temannya yang kerja kelompok, tapi dia nggak mau, "kasian bunda, nanti capek" (baik beneerrr..:)).
Ternyata eh ternyata, ketika hari Jumat masuk sekolah kembali, salah satu anggota kelompoknya bilang, naskah belum selesai, karena ketika grupnya berkumpul, bukannya mengerjakan tugas, malah cuma main. Lalu temannya itu menyanggupi untuk melanjutkan naskahnya, mau browsing di internet katanya. (Eeerrrr... kalau kisah sejarahnya browsing oke lah, tapi naskah drama? browsing?)
Dan semalam, Hani cerita kalo temennya di sekolah bilang, "Ternyata susah ya Han, browsing.. Kamu aja deh yang ngerjain.." (saya langsung "Whatttt??")
Lalu saya tanya ttg bagian naskah yang sudah dia kerjakan minggu lalu. Katanya, "Gak tau tuh bun, ilang katanya.." (saya tambah "Whaaatt? Howww?)
Kemudian dia bilang, bahwa naskah itu harus diketik, difotokopi sejumlah anggota, lalu tinggal dibaca di depan kelas.
Kata bu guru, yang dinilai adalah, isi, intonasi, ekspresi. Tapi lanjut Hani, kalo nggak terlibat drama nggak dapet nilai, walaupun dia yang bikin naskah.
(Bunda nggak pake "Whaattt?" lagi.. langsung koprol 3 kali aja..)
Sekarang seriusnya nih...
Pada dasarnya, saya suka dan mendukung jika pelajaran disampaikan dan dipahami dengan cara-cara yang non-konvensional. Biasanya, materi pelajaran justru lebih 'tahan lama melekat di otak' dengan metode-metode spt ini. Dan banyak hal yang bisa dipelajari dalam kerja kelompok (selain isi materi pelajarannya), antara lain :
- belajar berbagi tugas dan waktu (manajemen)
- belajar memimpin
- belajar bertanggungjawab
- belajar bekerja sama dan saling mendukung
Maka ketika hal-hal seperti cerita Hani di atas yang terjadi, saya kecewa. Bukan pada Hani, karena ia sudah berusaha melakukan tugasnya sendiri. Awalnya saya kesal dengan teman-temannya Hani, tapi lalu saya pikir, bukan sepenuhnya salah mereka jika tak paham seperti apa kerja kelompok yang baik itu. Mau nggak mau, saya jadi berpikir begini :
- Ini orangtuanya ngapain ajaaa?? Waktu berkumpul, pasti sebagian besar ortunya nganter, tidak adakah yang mengawasi, apakah anak-anaknya benar-benar berkumpul mengerjakan tugas? Atau ibu-ibunya malah ngerumpi? Saya percaya, ibu-ibu di sekolah Hani itu berpendidikan dan berwawasan luas (lha kan mampu bayar mahalll..), apa tidak ada satupun yang membantu/membimbing?
Hari gini, kerja kelompok nggak harus musti kudu dikerjain sambil ngumpul rame-rame kan? Internet ada, FB dan Twitter (dg memalsukan data usia) pada punya, tab/iphone lengkap, atau minimal telepon rumah deh..
- Ibu gurunya ngasih tugas, tapi dikasih penjelasan yang detail atau nggak, tentang cara pengerjaannya? Atau sekedar ada naskah, anak-anak baca, selesai?
Katanya isi dinilai, tapi kata Hani, kelompok yang lain juga cuma satu anak yang ngerjain, yang lain tinggal baca (bener anak itu yang ngerjain, atau orangtuanya yang bikinin?? Entah..). Lalu jika ini naskah drama, memang benar, minimal intonasi dan ekspresi jadi kriteria penilaian. But it needs practice! (Bu guru bilang, nggak usah latihan, langsung dibaca ajaa..). Lama-lama saya berpikir, kalau cerita Hani ttg gurunya ini benar, saya jadi ragu, bu guru ini paham nggak sih esensinya kerja kelompok tuh apa?
Saya sadar, Hani memang kadang-kadang diandalkan teman-temannya untuk mengerjakan tugas. Entah ada hubungannya atau tidak, saya juga mengalaminya beberapa kali ketika ada acara di sekolah. Sampai ada yang ngomong, "Tenang, kalau ada mama Hani, semua beresss..."
Tapi, menurut saya, ini sama sekali tidak mendidik jika dibiarkan terjadi pada Hani.
Saya bisa saja membantu Hani menuliskan naskahnya, lalu teman-temannya tinggal baca, bereesss.. Semua anggota kelompok dapat nilai yang sama. Rata.
Lalu apa yang mereka pelajari dari ini? Bahwa tidak perlu berusaha selama ada temannya yang bisa diandalkan? Bahwa yang penting tugas selesai dan dapat nilai? That just doesn't make sense to me..
Belajar itu bukan result-oriented, tapi process-oriented.. Apapun, kapanpun kita belajar, selalu ada hal baru yang kita peroleh, tak peduli berapa angka nilai yang tercantum pada akhirnya.
Hari ini saya akan mencoba menemui guru Hani dan berdiskusi lebih lanjut. Mudah-mudahan membawa perkembangan yang baik untuk proses belajar selanjutnya.
(to be continued...)
Sambungan :
Hari itu akhirnya saya bertemu guru Hani dan membahas masalah tugas kelompok ini. Kesimpulan, naskah drama boleh dibuat siapa saja, sendiri atau bareng-bareng. Namun, penulis naskah tetap mendapatkan ekstra kredit untuk usahanya.
Dan malamnya, karena waktu yang sangat mepet, akhirnya saya membantu Hani menyusun naskahnya. Alur cerita, dialog, pemeran tokoh, Hani yang atur, saya hanya memberi masukan-masukan dan membantu mengetik dan mencetak hingga 8 kopi. Selesai.
Apakah saya puas? Tidak.
Saya masih menganggap bahwa potensi kerja kelompok ini tidak maksimal tergali. Guru masih sekedar berusaha menyampaikan materi pelajaran dengan metode yang berbeda, namun tidak memanfaatkan proses ini sebagai sarana menanamkan berbagai karakter penting pada anak-anak.
Sayang sekali...
No comments:
Post a Comment