Tulisan ini masih serangkai dengan 2 tulisan sebelumnya, tentang dilema pengajaran calistung pada anak-anak usia dini. Bagian terakhir ini, tentang proses pengenalan matematika untuk anak-anak di PAUD/TK, sangat berkaitan dengan sejarah penulisan buku saya yang pertama, Main Matematika Yuk!.
Sama seperti membaca dan menulis, proses belajar matematika untuk anak-anak usia dini ini juga sah-sah saja dilakukan, selama metodenya sesuai dengan usia. Sebagian besar orang masih berpikiran sempit, bahwa matematika hanyalah tentang berhitung, penjumlahan, pengurangan, dan seterusnya. Padahal, matematika adalah ilmu yang sangat luas, namun pada dasarnya, tentang pemecahan masalah secara logika.
Ketika Hani, anak pertama saya, masuk SD, beberapa teman di sekolahnya banyak yang sudah mengikuti bimbel untuk membantu pelajaran Matematika di sekolahnya. Berbagai macam metode berhitung yang berbeda-beda, sangat laris diserbu para orangtua, dari mulai Sempoa, Kumon, Jarimatika, sampai Sakamoto. Saya yang bertekad untuk mengajari sendiri anak saya, paling tidak sampai batas kemampuan ilmu saya, memanfaatkan peluang ini untuk membuka bimbingan privat untuk anak-anak SD, sekaligus menjadikan mereka teman belajar Hani, sekaligus pula sarana belajar saya sebagai orangtua.
Saat memulai bimbingan privat inilah, saya menyadari, banyak anak-anak yang memiliki konsep dasar matematika yang lemah. Ini membuat pelajaran matematika di SD terasa begitu berat. Lalu bagaimana proses pengenalan matematika di TK ? Lalu kapan anak-anak harus sudah mulai belajar berhitung?
Saya selalu berpendapat, bahwa belajar apapun bisa dimulai kapan saja. Dari usia balita sekalipun. Termasuk juga matematika. Yang penting adalah, bagaimana cara mengajarkannya?
Untuk anak balita? Tentu saja bukan dengan menyuruhnya duduk diam mengerjakan soal-soal berhitung.
Ketika Hani masih berusia 3 tahun, saya pernah mengikuti parenting workshop di sebuah TK/SD di Depok, tentang pembelajaran Calistung di usia dini. Disini saya belajar bahwa belajar Calistung sangat bisa diajarkan pada anak-anak balita di sekolah dengan cara-cara yang fun dan seru, sehingga anak-anak bahkan tak merasa sedang belajar. Beberapa permainan yang dipakai di sekolah ini, kemudian juga saya praktekkan di rumah.
Di komplek perumahan kami, sempat dibentuk komunitas belajar-bermain untuk anak-anak, yang dilaksanakan setiap hari Minggu pagi. Awalnya untuk belajar bahasa Inggris dengan fun, namun kemudian berkembang dengan memasukkan banyak materi lainnya, seperti art, math, science, dll. Banyak materi dan metode dalam klub ini yang kemudian saya masukkan sebagai contoh trik belajar matematika dalam buku saya.
Sebenarnya, banyak dari kita yang sudah mulai mengajarkan matematika pada anak balita, bahkan tanpa disadari. Misalnya, ketika anak minta kue, kemudian kita bilang, "Mau berapa kuenya? Satu atau dua?". Atau ketika kita minta tolong ia untuk mengambilkan sesuatu, "Tolong ambilkan gelas yang besar ya Dek,". Atau ketika kita ke warung, sedang dalam perjalanan, banyak lagi.
Lalu kenapa kemudian, ketika anak masuk sekolah, tiba-tiba saja, Matematika menjadi musuh yang harus ditakuti?
Ini terjadi, biasanya karena proses 'pembelajaran' yang terselubung dan sambil bermain itu, tiba-tiba saja menjadi aktivitas yang serius dan menegangkan. Belum lagi ditambah orangtua yang bertingkah layaknya 'satpam' tiap kali anak sedang belajar atau mengerjakan PR.
Betul atau betulll?
Semua ide-ide itu mendapat kesempatan untuk 'tampil' ketika saya mengikuti kelas Online Menulis Non-Fiksi yang digawangi 3 guru cantik dan pintar : mbak Firmanawaty Sutan (yang ternyata satu kampus dengan saya), mbak Nunik Utami, dan mbak Erlina Ayu. Saya belajar menyusun ide-ide yang berserakan itu menjadi kerangka (outline) yang terstruktur. Modal outline ini kemudian saya kirimkan ke agen naskah, tanpa banyak berharap. Ternyata eh ternyata, Gramedia menyukai outline saya ! Surprise!
Maka dimulailah proses penulisan lengkap yang berlangsung selama kira-kira satu bulan, disambung dengan proses editing dan revisi sana-sini, lalu penantian panjang mengantri naik cetak, satu setengah tahun kemudian, akhirnya buku pertama saya pun terbit.. Alhamdulillah..
Buku sederhana namun padat ini berisi tips dan trik mengenalkan matematika pada anak balita, dalam berbagai situasi, saat bermain bersama, saat beraktivitas rutin di rumah, atau saat terjebak dalam perjalanan. Harapan saya untuk yang membaca buku ini adalah, para orangtua tidak lagi menganggap bahwa matematika itu sulit diajarkan, bahwa matematika itu selalu menjadi monster menakutkan.
Selain orangtua, guru PAUD/TK juga bisa menggunakan buku ini dan memanfaatkan ide-ide di dalamnya untuk dipraktekkan dalam kelas.
Ada yang sudah punya buku ini? Sudah dipraktekkan? Kalau sudah, silakan ceritakan pengalamannya dalam bentuk postingan blog, notes FB, dan colek saya ya. Saya menyediakan hadiah untuk teman-teman yang sudah mempraktekkan ide-ide dalam buku ini, dan bersedia membagikannya.
Cek info lombanya di postingan berikutnya!
Selamat bermain dan bersenang-senang!
Sama seperti membaca dan menulis, proses belajar matematika untuk anak-anak usia dini ini juga sah-sah saja dilakukan, selama metodenya sesuai dengan usia. Sebagian besar orang masih berpikiran sempit, bahwa matematika hanyalah tentang berhitung, penjumlahan, pengurangan, dan seterusnya. Padahal, matematika adalah ilmu yang sangat luas, namun pada dasarnya, tentang pemecahan masalah secara logika.
Ketika Hani, anak pertama saya, masuk SD, beberapa teman di sekolahnya banyak yang sudah mengikuti bimbel untuk membantu pelajaran Matematika di sekolahnya. Berbagai macam metode berhitung yang berbeda-beda, sangat laris diserbu para orangtua, dari mulai Sempoa, Kumon, Jarimatika, sampai Sakamoto. Saya yang bertekad untuk mengajari sendiri anak saya, paling tidak sampai batas kemampuan ilmu saya, memanfaatkan peluang ini untuk membuka bimbingan privat untuk anak-anak SD, sekaligus menjadikan mereka teman belajar Hani, sekaligus pula sarana belajar saya sebagai orangtua.
Saat memulai bimbingan privat inilah, saya menyadari, banyak anak-anak yang memiliki konsep dasar matematika yang lemah. Ini membuat pelajaran matematika di SD terasa begitu berat. Lalu bagaimana proses pengenalan matematika di TK ? Lalu kapan anak-anak harus sudah mulai belajar berhitung?
Saya selalu berpendapat, bahwa belajar apapun bisa dimulai kapan saja. Dari usia balita sekalipun. Termasuk juga matematika. Yang penting adalah, bagaimana cara mengajarkannya?
Untuk anak balita? Tentu saja bukan dengan menyuruhnya duduk diam mengerjakan soal-soal berhitung.
Ketika Hani masih berusia 3 tahun, saya pernah mengikuti parenting workshop di sebuah TK/SD di Depok, tentang pembelajaran Calistung di usia dini. Disini saya belajar bahwa belajar Calistung sangat bisa diajarkan pada anak-anak balita di sekolah dengan cara-cara yang fun dan seru, sehingga anak-anak bahkan tak merasa sedang belajar. Beberapa permainan yang dipakai di sekolah ini, kemudian juga saya praktekkan di rumah.
Di komplek perumahan kami, sempat dibentuk komunitas belajar-bermain untuk anak-anak, yang dilaksanakan setiap hari Minggu pagi. Awalnya untuk belajar bahasa Inggris dengan fun, namun kemudian berkembang dengan memasukkan banyak materi lainnya, seperti art, math, science, dll. Banyak materi dan metode dalam klub ini yang kemudian saya masukkan sebagai contoh trik belajar matematika dalam buku saya.
Sebenarnya, banyak dari kita yang sudah mulai mengajarkan matematika pada anak balita, bahkan tanpa disadari. Misalnya, ketika anak minta kue, kemudian kita bilang, "Mau berapa kuenya? Satu atau dua?". Atau ketika kita minta tolong ia untuk mengambilkan sesuatu, "Tolong ambilkan gelas yang besar ya Dek,". Atau ketika kita ke warung, sedang dalam perjalanan, banyak lagi.
Lalu kenapa kemudian, ketika anak masuk sekolah, tiba-tiba saja, Matematika menjadi musuh yang harus ditakuti?
Ini terjadi, biasanya karena proses 'pembelajaran' yang terselubung dan sambil bermain itu, tiba-tiba saja menjadi aktivitas yang serius dan menegangkan. Belum lagi ditambah orangtua yang bertingkah layaknya 'satpam' tiap kali anak sedang belajar atau mengerjakan PR.
Betul atau betulll?
Semua ide-ide itu mendapat kesempatan untuk 'tampil' ketika saya mengikuti kelas Online Menulis Non-Fiksi yang digawangi 3 guru cantik dan pintar : mbak Firmanawaty Sutan (yang ternyata satu kampus dengan saya), mbak Nunik Utami, dan mbak Erlina Ayu. Saya belajar menyusun ide-ide yang berserakan itu menjadi kerangka (outline) yang terstruktur. Modal outline ini kemudian saya kirimkan ke agen naskah, tanpa banyak berharap. Ternyata eh ternyata, Gramedia menyukai outline saya ! Surprise!
Maka dimulailah proses penulisan lengkap yang berlangsung selama kira-kira satu bulan, disambung dengan proses editing dan revisi sana-sini, lalu penantian panjang mengantri naik cetak, satu setengah tahun kemudian, akhirnya buku pertama saya pun terbit.. Alhamdulillah..
Buku sederhana namun padat ini berisi tips dan trik mengenalkan matematika pada anak balita, dalam berbagai situasi, saat bermain bersama, saat beraktivitas rutin di rumah, atau saat terjebak dalam perjalanan. Harapan saya untuk yang membaca buku ini adalah, para orangtua tidak lagi menganggap bahwa matematika itu sulit diajarkan, bahwa matematika itu selalu menjadi monster menakutkan.
Selain orangtua, guru PAUD/TK juga bisa menggunakan buku ini dan memanfaatkan ide-ide di dalamnya untuk dipraktekkan dalam kelas.
Ada yang sudah punya buku ini? Sudah dipraktekkan? Kalau sudah, silakan ceritakan pengalamannya dalam bentuk postingan blog, notes FB, dan colek saya ya. Saya menyediakan hadiah untuk teman-teman yang sudah mempraktekkan ide-ide dalam buku ini, dan bersedia membagikannya.
Cek info lombanya di postingan berikutnya!
Selamat bermain dan bersenang-senang!
Selamat ya Mak.
ReplyDelete