Setiap teman yang aku tanya, "Lebih susah mana, ngajar anak sendiri atau anak orang lain?", pasti akan menjawab, "Lebih susah ngajar anak sendiri lah!". Alasannya macam-macam, tapi pada dasarnya, ketika mengajar anak sendiri, ada ekspetasi lebih dari dalam diri setiap orangtua. Saat membantu anak belajar, ada harapan dalam diri orangtua, 'anak saya harus bisa..' . Sementara ketika mengajarkan anak orang lain, kita sekedar mengajarkan, memberitahu, masalah anak itu mengerti atau tidak? 'Yaa biarin aja, bukan anak kita ini..' Hayo, bener nggak mom? Ngaku! Hihihihi..
Karena ekspetasi yang lebih saat mengajarkan anak, atau membantu anak belajar, kita sering beranggapan begini : 'Ibunya aja bisa, masa anaknya nggak bisa..', 'Bapakmu kan insinyur, berarti kamu juga harus pinter..'
Akhirnya, ketika ternyata anak tidak memenuhi harapan itu, misalnya karena sulit mengerti penjelasan orangtua, kita malah kesal, 'Kamu gimana siihh?? Masa gini aja nggak bisaa??'.. Bener nggak? Hayo ngaku lagi!
Padahal ternyata, ketika 'kata-kata hujatan' itu keluar, yang terjadi adalah, anak semakin turun mood belajarnya, dan akhirnya otaknya akan semakin sulit untuk menerima informasi apapun. Jadi, kalo dimarahin begitu, anak akan tambah pinter nggak? Jelas nggak!
Saya mengalaminya sendiri. Dulu saya juga masih begitu. Akibatnya, seperti bara menyala yang disiram bensin, makin panas! Anak saya semakin nggak paham isi pelajarannya, dan saya semakin kesal, terus begitu seperti lingkaran setan. Makanya banyak teman di FB yang setiap kali anak UTS, selalu pasang status : 'siap-siap perang urat', 'perang dunia deh!', 'anak yang UTS, emak yang stres!'...
Lalu apa yang membuat saya sadar? Selain baca info dari teman-teman yang lebih pintar, yang benar-benar menjadi wake-up call buat saya adalah, ketika saya akhirnya menjual jasa saya untuk mengajarkan anak orang lain.
Dari beberapa anak yang pernah saya tangani, tak ada yang karakternya sama seperti anak saya. They're totally different! Setiap saat saya harus putar otak, karena karakter yang berbeda, berarti metode mengajarnya juga harus berbeda.
Pernah anak seorang anak, yang saya yakini cerdas dan daya tangkapnya tinggi, selalu minta ditemani ibunya ketika belajar. Sementara adiknya yang masih PG (yang super aktif, beda banget dengan kakaknya yang pemalu) pun harus dibawa kemana-mana, karena tidak ada ART. Akhirnya beberapa kali pelajaran matematika pun harus disampaikan dalam bentuk game, yang pesertanya adalah.... kakak dan adiknya itu!
Ada lagi seorang anak, yang terkenal sangat percaya diri, cerewet, dan semangat belajarnya tinggi, ternyata setelah beberapa sesi bersama saya, bisa tiba-tiba drop semangatnya ketika menghadapi soal yang lebih sulit atau mendapat tantangan baru. Sering saya dapati ia tahu-tahu melamun di tengah mengerjakan tugas soal dari saya. Nah lho?
Sementara anak yang lain lagi, yang menurut saya juga pintar (pintar banget malah), tidak bisa menerima saran atau teknik-teknik baru. Misalnya, saya punya teknik-teknik tertentu dalam berhitung, yang selalu saya ajarkan pada anak-anak. Tapi anak yang satu ini, selalu keukeuh menggunakan cara yang diajarkan gurunya di sekolah (yang menurut saya justru bikin pusing dan nggak efektif untuk berhitung bilangan-bilangan besar). Ya sudah, saya biarkan ia menggunakan caranya sendiri, sambil tetap saya selipkan satu-dua cara saya.
Kesimpulan saya, mengajarkan anak orang lain itu jauuuuhhh lebih sulitt!
Ketika mengajar anak sendiri, kita sudah memahami karakternya, kita tahu pola hariannya, kapan ia lelah, kapan ia mengantuk, dan kapan ia siap untuk belajar. Kita juga -seharusnya- lebih paham apa minatnya, bagaimana tipe belajarnya, serta bagian mana dari otaknya yang lebih aktif, kanan atau kiri. Karena kita lebih memahaminya, seharusnya kita juga lebih bisa menemukan cara yang efektif untuk membantunya belajar, dibandingkan dengan anak orang lain yang tidak kita asuh sehari-hari.
So, mulai sekarang, jangan ragu-ragu membantunya belajar ya ibu-ibu, jangan cuma menyerahkannya pada guru privat atau bimbingan belajar, sementara di rumah, lempar-lemparan sama si ayah.. "Ih udah belajar sama ayah sana!".. "Ibu nih gimana? ayah banyak kerjaan nih! Sama ibu aja gih!"...
Tinggal si anak yang tepok jidat.. Capee deehh..
Peace! :))
Karena ekspetasi yang lebih saat mengajarkan anak, atau membantu anak belajar, kita sering beranggapan begini : 'Ibunya aja bisa, masa anaknya nggak bisa..', 'Bapakmu kan insinyur, berarti kamu juga harus pinter..'
Akhirnya, ketika ternyata anak tidak memenuhi harapan itu, misalnya karena sulit mengerti penjelasan orangtua, kita malah kesal, 'Kamu gimana siihh?? Masa gini aja nggak bisaa??'.. Bener nggak? Hayo ngaku lagi!
Padahal ternyata, ketika 'kata-kata hujatan' itu keluar, yang terjadi adalah, anak semakin turun mood belajarnya, dan akhirnya otaknya akan semakin sulit untuk menerima informasi apapun. Jadi, kalo dimarahin begitu, anak akan tambah pinter nggak? Jelas nggak!
Saya mengalaminya sendiri. Dulu saya juga masih begitu. Akibatnya, seperti bara menyala yang disiram bensin, makin panas! Anak saya semakin nggak paham isi pelajarannya, dan saya semakin kesal, terus begitu seperti lingkaran setan. Makanya banyak teman di FB yang setiap kali anak UTS, selalu pasang status : 'siap-siap perang urat', 'perang dunia deh!', 'anak yang UTS, emak yang stres!'...
Lalu apa yang membuat saya sadar? Selain baca info dari teman-teman yang lebih pintar, yang benar-benar menjadi wake-up call buat saya adalah, ketika saya akhirnya menjual jasa saya untuk mengajarkan anak orang lain.
Dari beberapa anak yang pernah saya tangani, tak ada yang karakternya sama seperti anak saya. They're totally different! Setiap saat saya harus putar otak, karena karakter yang berbeda, berarti metode mengajarnya juga harus berbeda.
Pernah anak seorang anak, yang saya yakini cerdas dan daya tangkapnya tinggi, selalu minta ditemani ibunya ketika belajar. Sementara adiknya yang masih PG (yang super aktif, beda banget dengan kakaknya yang pemalu) pun harus dibawa kemana-mana, karena tidak ada ART. Akhirnya beberapa kali pelajaran matematika pun harus disampaikan dalam bentuk game, yang pesertanya adalah.... kakak dan adiknya itu!
Ada lagi seorang anak, yang terkenal sangat percaya diri, cerewet, dan semangat belajarnya tinggi, ternyata setelah beberapa sesi bersama saya, bisa tiba-tiba drop semangatnya ketika menghadapi soal yang lebih sulit atau mendapat tantangan baru. Sering saya dapati ia tahu-tahu melamun di tengah mengerjakan tugas soal dari saya. Nah lho?
Sementara anak yang lain lagi, yang menurut saya juga pintar (pintar banget malah), tidak bisa menerima saran atau teknik-teknik baru. Misalnya, saya punya teknik-teknik tertentu dalam berhitung, yang selalu saya ajarkan pada anak-anak. Tapi anak yang satu ini, selalu keukeuh menggunakan cara yang diajarkan gurunya di sekolah (yang menurut saya justru bikin pusing dan nggak efektif untuk berhitung bilangan-bilangan besar). Ya sudah, saya biarkan ia menggunakan caranya sendiri, sambil tetap saya selipkan satu-dua cara saya.
Kesimpulan saya, mengajarkan anak orang lain itu jauuuuhhh lebih sulitt!
Ketika mengajar anak sendiri, kita sudah memahami karakternya, kita tahu pola hariannya, kapan ia lelah, kapan ia mengantuk, dan kapan ia siap untuk belajar. Kita juga -seharusnya- lebih paham apa minatnya, bagaimana tipe belajarnya, serta bagian mana dari otaknya yang lebih aktif, kanan atau kiri. Karena kita lebih memahaminya, seharusnya kita juga lebih bisa menemukan cara yang efektif untuk membantunya belajar, dibandingkan dengan anak orang lain yang tidak kita asuh sehari-hari.
So, mulai sekarang, jangan ragu-ragu membantunya belajar ya ibu-ibu, jangan cuma menyerahkannya pada guru privat atau bimbingan belajar, sementara di rumah, lempar-lemparan sama si ayah.. "Ih udah belajar sama ayah sana!".. "Ibu nih gimana? ayah banyak kerjaan nih! Sama ibu aja gih!"...
Tinggal si anak yang tepok jidat.. Capee deehh..
Peace! :))
Sebetulnya bukan masalah lebih sulit mana, tapi mengajar anak sendiri itu sering bikin emosional. Kepada anak sendiri kita merasa bisa marah, sdgkan kps anak orang lain tidak demikian.
ReplyDeleteSepertinya yg dibutuhkan adalah melatih kesabaran :)
Thanks komennya mbak...
Deleteitu bener juga... tapi saya juga bisa marah lho kalo lagi ngajar anak orang lain..hehe, tapi abis itu saya ngomong ke orangtuanya alasan saya marah.. (marah bukan bentak2 lho ya)..
Mengajar anak orang lain juga butuh ekstra kesabaran sih, buat saya.. :))
Enaknya ngajar anak sendiri adalah, ketika si anak membuat kita marah, kita punya waktu dan kesempatan untuk 'break' dulu, 'time out', supaya marah kita mereda.. Nanti dilanjut lagi belajarnya..
Tapi kalo ngajarin anak lain (pas les privat misalnya) nggak bisa begitu.. Pokoknya materi segitu ya harus diajarin saat itu juga, ga ada kesempatan lain..
Mbak Niken pernah juga ngerasain ngajar anak orang lain?