ilustrasi : Majalah Sekar |
Sebagian besar tamu
sudah pulang. Tapi tenda belum dibongkar. Bendera kuning masih berkibar.
Karangan bunga di halaman masih segar.
Kakak-kakak Nina sudah
kembali ke kehidupan masing-masing, ke keluarga masing-masing. Terlalu banyak kepentingan
dan urusan yang mereka tinggalkan selama dua hari kemarin, demi menemani Nina,
sang bungsu.
Sekarang saatnya Nina
menghadapi kenyataan sendirian. Tetangga-tetangga hanya sesekali menjenguknya,
mengantarkan makanan, mencucikan pakaian, membersihkan rumah. Nina tidak
dibiarkan melakukan apa-apa, kecuali berkabung, berdiam di dalam kamar.
Malam Kamis lalu, tidur
Nina dibangunkan oleh sebuah telepon. Tentang Haris. Suaminya mengalami
kecelakaan parah di area peristirahatan km.10. Nina berburu taksi di tengah
malam, menyusul ke rumah sakit, tapi terlambat. Ia tak sempat melihat suaminya
hidup.
Dunia jungkir balik
setelah itu. Kerabat-kerabatnya datang, mengurusi semua urusan pemakaman,
karena Nina sama sekali tak mampu melakukan apa-apa. Ia hanya diam dan
mengurung diri di kamar.
Diam. Bisu. Ia bahkan
tak terdengar menangis. Matanya hanya berkaca-kaca nanar.
Orang berbisik, dan
beberapa mengatakan bahwa ia shock berat. Beberapa menyanjung ketegarannya.
Tapi tak ada yang tahu apa yang benar-benar dirasakan Nina saat ini.
Nina terduduk di lantai
kamarnya, tak mempedulikan beberapa tetangganya yang sibuk di luar. Entah ada
yang memasak, menyapu, atau mengobrol, Nina tak lagi peduli. Ia hanya
memandangi layar telepon genggamnya yang kosong. Ia mematikannya dua hari lalu.
Betapa ia ingin memutus
hubungan dengan dunia. Betapa ingin ia mengurung dirinya selamanya di kamar
ini. Di dunianya sendiri.
Ia mendengar bisikan
seorang tamu, bahwa ia terlalu mencintai Haris, hingga shock seperti ini. Cinta? Nina bahkan tak tahu lagi apa itu
cinta.
Sampai semalam.
Beberapa sahabat semasa kuliahnya datang. Entah darimana mereka mendengar
berita duka ini. Nina menerima mereka dengan senyum datar. Senyum Nina hanya
mengembang ketika muncul sepasang mata coklat itu di hadapannya. Mata coklat
terindah sepanjang masa.
Basa-basi. Lalu lebih
banyak basa-basi lagi. Nina benci basa-basi. Nina benci tatapan kasihan.
Sebenarnya, Nina sudah begitu membenci banyak hal beberapa tahun belakangan
ini.
“Telponmu mati, Nin?”
tegur mata coklat itu, ketika rombongan itu mau pulang.
“Ya, aku matikan..”
sahut Nina tanpa ekspresi.
“Nyalakan ya..”
bisiknya lagi. Nina membaca kilat harap di dalam mata coklat itu, dan
mengangguk lemah.
Dan, sekarang Nina di
sini. Dalam keinginan menyalakan kembali ponselnya, dan ketakutan akan
pesan-pesan yang mungkin diterimanya. Keinginannya akhirnya menang.
Ponsel Nina langsung
berdecit-decit tiada henti, begitu banyak SMS masuk, pesan suara, notifikasi
email, entah bunyi apa lagi. Semua Nina abaikan kecuali satu nomor. SMS dari
sang pemilik mata coklat indah itu.
Thu, 10:12 AM : Nina, are you alright?
Thu, 11:20 AM : Nin,
kenapa HP mati? Aku cemas, tolong kabari ya.
Thu, 08:10 PM : Nina, please. Aku harus bicara.
Fri, 12:54 AM : Nin,
aku dengar dari grup tentang Haris. Turut berduka ya. Aku kesana nanti sama
teman-teman.
Fri, 06:35 PM : Aku
lagi di jalan ke rumahmu. Tolong balas.
Fri, 07:15 PM : Teman-teman
semua sedih memikirkanmu. Terutama aku.
Fri, 08:10 PM : Nin,
aku sekarang masih di ruang tamumu, sedang duduk di seberangmu. Kau kelihatan
hancur. Aku tahu kau menutupinya, tapi kau tak pernah bisa membohongi aku. Kau
hanya pura-pura.
Fri, 09:38 PM : Nina dear, aku pulang ya. Aku ingin tinggal
menemanimu, tapi nggak enak sama teman-teman. Tolong balas smsku. Jangan diam
terus. Aku sangat mencemaskanmu.
Fri, 11:50 PM : Selamat
malam Nina, semoga kau baik-baik saja. Aku masih memikirkanmu.
Sat, 05:15 AM : Sudah
bangun Nin? Aku masih menunggu smsmu.
Sat, 07:10 AM : Please Nin, balas. Aku mau telpon. Aku
ingin bicara.
Nina menengok jam di
atas meja. Sembilan pagi lewat sedikit. Jari telunjuknya mulai meningkahi touch-screen ponselnya.
‘Aku
baik-baik saja. Jangan khawatir.’
Hanya lima menit
setelah reply pesan itu terkirim,
ponselnya berbunyi nyaring. Nina tak perlu menduga siapa yang menelpon.
“Ya, halo?”
“Ninaa! Aku bisa gila
nunggu smsmu dari kemarin! Kenapa dimatikan?”
“Tidak apa-apa. Aku
baik-baik saja, Ren..”
“Tidak, kau tidak
baik-baik saja. Jangan bohong..”
“Rendi..”
“Nina, aku benar-benar
mencemaskanmu.. Aku ke rumahmu ya?”
“Jangan!”
“Kalau gitu, kita
ketemu di luar?”
“Tidak.. Aku tidak
bisa, aku masih dalam masa berkabung. Aku nggak bisa pergi kemana-kemana sampai
4 bulan ke depan. Please, nggak usah
telpon aku dulu ya..”
“Empat bulan???”
“Empat bulan sepuluh
hari, tepatnya..”
“Nggak boleh bicara
denganmu empat bulan lebih?? Aku bisa gila, Nina!”
“Itu masalahmu..”
“Aku akan tetap SMS..”
“Tidak boleh..”
“Aku tidak minta
ijinmu.. Kalau kau nggak balas, aku akan telpon..”
Nina mendesah dalam,
berat. “Terserah. Aku pergi dulu..”
“Nin! Tu-....” Tut.
Putus.
---
Rendi membanting iPhone-nya
ke atas kasur. “Siaaaallll!!!!”
Ia mengacak-acak
rambutnya yang sudah kusut sejak semalam. Semalaman ia tak bisa tidur, menanti
balasan SMS Nina, mencoba menelponnya, terus memikirkannya.
Terduduk ia di atas
karpet empuk apartemennya. Sesenggukan. Ingin rasanya ia meledakkan semua yang
ia rasakan di dadanya. Ingin ia teriakkan pada dunia, betapa ia mencintai Nina.
Betapa ia mampu melakukan apapun demi Nina. Apapun.
Dunianya berubah total,
ketika ia bertemu kembali dengan Nina lima tahun lalu, setelah berpisah lebih
dari sepuluh tahun sebelumnya. Nina cinta pertamanya, bahkan mungkin
satu-satunya cintanya, karena beberapa kali ia menjalin hubungan dengan wanita,
tapi Nina tak pernah lepas dari ingatannya. Tidak juga ketika Rendi menikahi
Kanya, teman kantornya.
Pernikahan itu baru
berjalan dua tahun, ketika Rendi bertemu Nina kembali dalam sebuah reuni.
Setahun kemudian, Rendi dan Kanya bercerai. Kini, Kanya sudah menikah lagi
dengan seorang pengusaha kaya. Sementara Rendi, masih terus terperangkap dalam
masa lalunya bersama Nina.
Tapi Nina tidak tahu
itu.
Nina tak tahu bahwa
Rendi tak pernah berhenti mencintainya, tak peduli berapa tahun mereka
berpisah. Ketika Nina terlihat bahagia saat menceritakan pernikahannya, Rendi
mengerti, bahwa ia hanya bisa mencintai Nina dari jauh. Jadi, ia hanya sesekali
mengirimi Nina pesan pendek, atau telepon basa-basi, menanyakan kabar, walau
setiap saat ia menahan keinginannya untuk bertemu Nina.
Tapi tidak lagi, ketika
suatu hari, dua tahun lalu, tak sengaja ia bertemu Nina di sebuah mall di
Jakarta. Nina terlihat kacau saat itu. Lalu sejak itu, mereka sering bicara, sms,
atau telepon. Rendi akhirnya tahu, bahwa sepanjang pernikahannya, Nina tak
pernah bahagia. Haris bukanlah laki-laki sopan dan baik hati seperti yang
dikenalnya sebelum menikah. Nina merasa Haris tak pernah benar-benar
mencintainya, dan hanya menikahinya demi status sosialnya.
Dari Nina, Rendi tahu
bahwa Haris punya perempuan simpanan dimana-mana, berganti-ganti. Nina bertahan
demi nama baik keluarga besarnya.
“Nina, kau nggak bisa
begini terus..” kata Rendi suatu kali di salah satu telepon-telepon mereka,
ketika Haris sedang ‘tugas’ keluar kota.
“Ren, aku tak mungkin
minta cerai.. Keluarga Haris itu keluarga priyayi, dan yang mereka tahu, Haris
itu anak sempurna. Aku yang akan jadi kambing hitamnya..” kilah Nina.
“Kau pengecut..”
Nina terdiam, membuat
Rendi merasa bersalah.
“Maaf Nin.. Tapi aku
nggak bisa membiarkan kamu seperti ini..”
“Aku tahu, kau memang
temanku yang baik.. Makasih ya sudah mau mendengarkanku..”
Glek.
Saat itu Rendi sadar, Nina tak pernah menganggapnya lebih dari sekedar teman.
Ia juga sadar, ialah yang sebenarnya pengecut, karena tak pernah berani
mengungkapkan perasaannya pada Nina. Tidak dulu di kampus, tidak juga saat ini.
Tapi itu tak
menghentikan obsesinya pada Nina. Untuk memilikinya. Untuk melindunginya. Tidak
dulu. Tidak sekarang. Terutama sekarang, setelah Nina akhirnya ‘bebas’ dari Haris.
Masih dengan muka lusuh
dan hati remuk, Rendi keluar, menuju parkir, dimana CRV hitamnya menanti. Ia
melirik sedikit baret di bemper depan, dan mengernyit. Aku harus membawanya ke bengkel besok. Ke salon mobil nggak cukup
ternyata.
---
“Kami masih melacak
pelaku tabrak larinya, Bu Nina. Tapi sudah ada petunjuk dari rekaman CCTV di
area parkir. Kami harap ibu bersabar.”
Polwan itu bicara
panjang lebar pada Nina. Ia hanya menanggapi seperlunya, tanpa ekspresi. Tak
mempedulikan fakta-fakta mengejutkan yang disampaikan pihak polisi kepadanya.
Hatinya sudah terlanjur kosong.
Polisi bilang, di malam
itu, Haris sedang berada di rest area,
bersama seorang wanita. Mereka baru keluar dari mobil, hendak menyeberang,
ketika ada mobil lain yang menabrak mereka. Malam itu tempat parkir yang gelap begitu
sepi. Tak ada saksi mata. Tapi polisi sudah mendapat petunjuk tentang mobil
pelaku tabrak lari itu.
Nina tak merasakan
apa-apa ketika polisi menyebutkan nama dan menunjukkan foto seorang wanita. Ia
tidak mengenalnya. Katanya, wanita itu masih dirawat di rumah sakit karena luka
dan shock. Nina tidak peduli. Selama bertahun-tahun bersama Haris, begitu
banyak wajah lain, begitu banyak nama. Sudah lama Nina tak peduli.
Setelah polisi pergi,
Nina kembali mengurung diri di kamar. Ponsel dinyalakan. Lagi-lagi, ada
beberapa sms dari Rendi. Ingin sekali ia membalas semuanya. Rendi telah
membantu luka hatinya dua tahun terakhir ini, hanya dengan bicara. Bicara
dengan Rendi telah menjadi kebutuhan rutinnya. Obat penenangnya. Nina pun tahu,
ada yang berbeda dari perhatian Rendi, entah apa, tapi Nina menikmati setiap
obrolan mereka di telepon, seremeh apapun. Ada yang bergelitik aneh dalam
perutnya, ketika mendengar tawa renyah Rendi, menyimak lembut kata-katanya.
Walau hanya bertemu Rendi beberapa kali, setiap menemukan mata coklat Rendi,
ada yang mengiris di dalam dadanya. Nana tahu, walau tak pernah
mengungkapkannya terus terang, Rendi merasakan hal yang sama.
Tapi kali ini ada hal
lain yang harus ia lakukan. Tidak ada hubungannya dengan Rendi. Dipilihnya
sebuah nomor. Pemilik nomor itu belum tahu tentang kepergian Haris. Pemilik
nomor itu adalah pengacaranya. Ia mengetik beberapa baris, dan mengirim.
Tak sampai setengah jam
kemudian, ponselnya bergetar. Pengacaranya menelpon.
“Ya pak.. Ya,
kejadiannya malam Kamis kemarin, maaf saya baru sempat mengabari, di rumah
repot sekali.. Jadi berkasnya nggak usah dibuat pak, saya tak perlu lagi.. Ya,
saya tahu… Tidak apa-apa, saya akan tetap bayar.. Berapa? Kan kita baru dua
kali pertemuan.. Oh begitu? Baik.. Tolong sms saya no rekeningnya.. Tagihan difax
saja ya.. Baik.. Baik.. Terimakasih banyak Pak.. Selamat sore..”
Tut.
Nina menarik nafas
dalam. Berat. Terlalu banyak urusan yang harus diselesaikannya . Surat-surat,
tagihan, kontak agen asuransi, kantor Haris, belum lagi tamu yang sesekali
masih datang. Menelpon pengacara perceraiannya adalah urusan terakhir hari ini.
Ya, Nina sudah
berencana untuk menggugat cerai Haris. Ia baru sampai tahap konsultasi dengan
pengacara dan persiapan surat gugatan. Haris bahkan belum tahu. Sekarang, semua
itu tak perlu.
Dulu ia pikir, jika ia
tak lagi bersama Haris, ia akan merasa tenang. Lega. Tapi ketika ini
benar-benar terjadi, bukan itu yang ia rasakan. Saat mengurusi semuanya
sendirian, ia menghadapi kenyatan bahwa perhatian keluarga besar Haris hanya
sebatas pengurusan pemakaman dan harta warisan. Simpati mereka pada Nina
sebagai istri Haris, hanya basa basi. Nina tak mempermasalahkan soal harta
peninggalan Haris. Semua asset atas nama Haris, Nina berikan pada ibu mertuanya.
Nina hanya akan mengambil rumah ini, satu-satunya yang beratasnamakan Nina dari
beberapa rumah yang dimiliki Haris, dan sebuah mobil sedan hadiah ulangtahun
dari Haris dua tahun lalu (Nina tertawa getir mengingat ini, karena Haris
bahkan tak pulang di malam itu, karena sedang ‘rapat’ dengan selingkuhannya).
Santunan dari perusahaan dan asuransi jiwa, serta tabungan pribadinya
bertahun-tahun, sudah lebih dari cukup untuknya memulai hidup baru.
Menghadapi semua ini
sendirian, menguras sisa-sisa energi dan emosinya. Kesepian besar menyerbunya
bagai tsunami. Ia jatuh terduduk dan setelah berhari-hari, ia akhirnya
menangis.
---
Rabu malam, jalan tol.
Rendi menjaga kecepatan
mobilnya. Ia berkonsentrasi pada sebuah mobil di depannya. Dasar laki-laki tak tahu diri! Sama siapa lagi kau sekarang?
Rendi punya relasi luas
dan dana bagai tak terbatas. Cukup untuk membiayai obsesinya. Dengan mudah, ia
tahu siapa Haris, dimana kantornya, kegiatannya, bahkan lokasi makan siangnya.
Beberapa kali ia berkesempatan menyaksikan sendiri pengkhianatan Haris pada
Nina. Di dalam mobil, di tempat parkir, Rendi menelpon Nina, mendengarkan keluh
kesahnya, mencoba mencandainya demi mendengar sekilas tawa Nina. Rendi tak
menyebutkan sepatah kata pun tentang Haris dan seorang perempuan yang sedang
disaksikannya, makan malam mesra di café di seberangnya.
Malam itu, tanpa
sengaja Rendi melihat mobil Haris di pintu tol. Karena tanpa rencana, Rendi tak
berpikir lain, ia harus mengikuti mereka.
Di km 10, mobil sedan
itu berbelok masuk ke rest area.
Rendi mempercepat laju, masuk dari pintu yang berbeda, lalu berputar-putar di
tempat parkir, sambil tetap mengamati buruannya. Pikirannya kalut karena marah.
Ia murka melihat seorang pria tak berguna, dengan seenaknya menyakiti perasaan
satu-satunya wanita yang ia cintai.
Ketika dilihatnya Haris
berjalan keluar, menggandeng seorang wanita, tertawa-tawa, kemarahan Rendi akhirnya
memuncak.
Ia pindahkan gigi, dan
menekan pedal gas lebih dalam.
-----
(Cerpen ini dimuat di Majalah Sekar edisi 106/13 tgl 3-17 April 2013, setelah melalui proses editing)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete