Sunday, March 31, 2013

Drama Sepuluh Tahun Yang Lalu Itu..

Lima belas September 2003..
Hari itu jadwal periksa rutin. Seperti dijanjikan minggu sebelumnya, mendekati HPL, kontrol kondisi janin akan lebih sering melalui USG.
Dokter terdiam sejenak melihat layar USG.
"Wah, indeks air ketubannya rendah nih bu.. Suka merembes ya?"
"Kayaknya nggak deh dok.. Atau mungkin nggak sadar ya?"
"Bisa jadi.. Ini berbahaya kalau nggak segera dikeluarkan.."
"Tapi belum kontraksi dok.."
"Kita induksi ya.."

Deg.
Ba'da maghrib, masuklah aku di ruang bersalin, dan infus induksi pun dimulai. Jam berlalu, tidak juga terasa kontraksi. Keluarga satu persatu mulai datang. Kami masih sempat mengobrol dan berkelakar satu sama lain.
Sekitar pukul 10 malam, rasa sakit itu mulai datang. Tanpa permisi, ia datang bertubi-tubi. Bidan dan perawat yang sejak awal bolak-balik mengecek kondisiku, berusaha menghubungi dokter untuk melaporkan situasi terakhir.
Sekitar pukul sebelas, perjuangan dimulai. Di ruangan itu, aku hanya ditemani dokter, beberapa bidan dan perawat.
"Ibu mau dipanggilkan bapak, buat menemani?" tanya bu Dokter, prihatin melihatku berjuang sendirian.
"Jangan Dok, nanti pasien dokter malah nambah.. Dia nggak kuat liat orang sakit, nanti bisa pingsan.."
"Ah ibu ini bisa saja..." bu Dokter tergelak.
Padahal aku tak bercanda.

Sebelas lebih tigapuluh lima menit. Hani lahir ke dunia. Tangisnya membahana. Nilai Apgarnya 9. Sempurna. Tinggal proses jahit menjahit.

Ternyata, drama baru akan dimulai. Lewat tengah malam itu, bius lokalnya kehilangan pengaruh. Kalah oleh rasa sakit jahitan. Ada yang salah.
Dokter bilang, jarak antara jalan lahir dan anus terlalu sempit dan otot disekitarnya rapuh, kemungkinan karena sering keputihan. Akibatnya, kulit tak kuat menahan jahitan, dan bengkak. Jahitan kanan dibongkar, gantian kiri yang bengkak. Darah sudah membanjir. Dokter anestesi sudah ditelepon untuk persiapan operasi besar.
Masalah datang lagi. Dokter butuh tanda tangan surat ijin operasi, dan suamiku menghilang! Sinyal di RS saat itu sangat buruk, keluarga tak ada yang berhasil menghubunginya. Semua panik.

Menjelang pukul dua pagi, di tengah kepanikan keluarga (sementara aku hanya tergeletak pasrah) suamiku muncul, akhirnya. Ternyata dia stress dan turun ke parkiran, untuk menenangkan diri. Surat ijin operasi pun akhirnya ditandatangani.
Sebelum operasi dimulai, aku sempat bicara padanya, bahwa seandainya operasi ini tidak berhasil menyelamatkan nyawaku, aku ingin anakku diasuh oleh ibuku, karena aku tahu suamiku takkan bisa mengasuhnya. Aku pun memohon maaf pada suamiku dan ibuku.

Dalam kondisi setengah sadar, aku dibawa ke ruang operasi. Di koridor, kami melewati beberapa staf rumah sakit dan entah siapa lagi, karena pandanganku buram, tapi masih kuingat, mereka terkesiap, terperangah melihatku, gumam istighfar menggema di sekelilingku. Rupanya wajahku telah pucat karena sekarat.

Ingatan terakhirku dini hari itu adalah bola-bola lampu besar di atasku, dalam ruang operasi, yang menghilang perlahan, lalu gelap.

Jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi, ketika aku membuka mata. Aku sudah di kamar pemulihan. Allah masih memberiku kesempatan hidup. Dia sungguh Maha Besar.

Drama selesai? Belum...

-----
Terlalu banyak drama yang terjadi. Di atas hanya satu episode. Di satu sisi, aku yakin Allah memberiku sekian cobaan karena aku kuat, di sisi lain, episode-episode drama yang terjadi mau tak mau membuatku trauma. Sempat terpikir bertahun-tahun, bahwa aku akan mendedikasikan hidupku untuk satu anakku saja.

Tapi Allah selalu punya rencana tak terduga. Di usia Hani yang lewat 9 tahun, di usiaku yang lewat 36 tahun, aku dinyatakan hamil 8 minggu.

Jalan hidupku berbelok tajam. Rencana hidupku berubah total. Seperti drama-drama hidup lainnya yang belakangan kusyukuri karena telah membentukku seperti sekarang ini, episode baru ini juga harus aku syukuri. Berkah Allah akan mengalir lewat titipan amanahNya lagi.

Dia seperti berkata, "Sudah saatnya trauma itu kau hapus, Rani.. Sudah saatnya.."

Jadi, kutulis catatan ini, karena menyimpan luka dalam-dalam tidak pernah membantu menyembuhkannya.

Cibinong, 31 Maret 2013, 21.01