Tuesday, September 24, 2013

Kuis Testimonial Buku Main Matematika Yuk!

Sudah punya buku "Main Matematika Yuk!" kan?
Ikutan kuisnya yuk!
 



Syarat dan ketentuan kuis :
1. Like page Main Matematika Yuk! dan add akun FB Rani Adityasari.
2. Praktekkan satu atau beberapa tips dan trik bermain dalam buku "Main Matematika Yuk!", pada anak-anak balita (anak, adik, siswa, keponakan, siapa saja yang penting berusia balita).
3. Tulis pengalaman tersebut, di notes Facebook atau di blog, panjang tulisan dan format bebas.
4. Tulisan berisi sharing pengalaman pribadi, bukan tulisan ilmiah.
5. Sertakan foto bersama buku "Main Matematika Yuk!", dan foto kegiatan bermain sesuai isi tulisan (tidak wajib, tapi lebih disukai).
6. Posting link tulisan tersebut di fanpage Main Matematika Yuk!, di wall FB pribadi, serta men-tag teman sebanyak-banyaknya, termasuk Rani Adityasari
7. Boleh mengirimkan tulisan sebanyak-banyaknya, asalkan isinya berbeda.
8. Batas akhir pengiriman tulisan : tanggal 5 November 2013 pukul 23.59 WIB
9. Pengumuman Pemenang : 12 November 2013
10. Pemenang dipilih langsung oleh penulis buku "Main Matematika Yuk", Rani Adityasari, berdasarkan isi tulisan (bukan jumlah tag atau like).
11. Akan dipilih 6 pemenang, dan satu pemenang hanya berhak untuk satu hadiah (jika mengirim lebih dari satu tulisan, akan dipilih tulisan yang terbaik)

Spoiler :
Tulisan yang disukai, adalah tulisan yang:
- tidak menggunakan bahasa alay dan singkatan-singkatan yang tidak lazim. Bahasa gaul dan santai yang masih sopan tidak masalah untuk digunakan.
- Bahasa ringan dan enak dibaca
- Ini yang penting : Menunjukkan pemahaman yang benar tentang isi buku.

HADIAH :
3 buah buku seri MathCraft karya Dini Capungmungil


3 buah mainan kayu edukatif (Balok susun, puzzle huruf, puzzle bentuk)



Ikutan yaa..!

Dilema Calistung : Latar Belakang Penulisan Buku "Main Matematika Yuk!" (bagian terakhir)

Tulisan ini masih serangkai dengan 2 tulisan sebelumnya, tentang dilema pengajaran calistung pada anak-anak usia dini. Bagian terakhir ini, tentang proses pengenalan matematika untuk anak-anak di PAUD/TK, sangat berkaitan dengan sejarah penulisan buku saya yang pertama, Main Matematika Yuk!.

Sama seperti membaca dan menulis, proses belajar matematika untuk anak-anak usia dini ini juga sah-sah saja dilakukan, selama metodenya sesuai dengan usia. Sebagian besar orang masih berpikiran sempit, bahwa matematika hanyalah tentang berhitung, penjumlahan, pengurangan, dan seterusnya. Padahal, matematika adalah ilmu yang sangat luas, namun pada dasarnya, tentang pemecahan masalah secara logika.

Ketika Hani, anak pertama saya, masuk SD, beberapa teman di sekolahnya banyak yang sudah mengikuti bimbel untuk membantu pelajaran Matematika di sekolahnya. Berbagai macam metode berhitung yang berbeda-beda, sangat laris diserbu para orangtua, dari mulai Sempoa, Kumon, Jarimatika, sampai Sakamoto. Saya yang bertekad untuk mengajari sendiri anak saya, paling tidak sampai batas kemampuan ilmu saya, memanfaatkan peluang ini untuk membuka bimbingan privat untuk anak-anak SD, sekaligus menjadikan mereka teman belajar Hani, sekaligus pula sarana belajar saya sebagai orangtua.

Saat memulai bimbingan privat inilah, saya menyadari, banyak anak-anak yang memiliki konsep dasar matematika yang lemah. Ini membuat pelajaran matematika di SD terasa begitu berat. Lalu bagaimana proses pengenalan matematika di TK ? Lalu kapan anak-anak harus sudah mulai belajar berhitung?
Saya selalu berpendapat, bahwa belajar apapun bisa dimulai kapan saja. Dari usia balita sekalipun. Termasuk juga matematika. Yang penting adalah, bagaimana cara mengajarkannya?

Untuk anak balita? Tentu saja bukan dengan menyuruhnya duduk diam mengerjakan soal-soal berhitung.

Ketika Hani masih berusia 3 tahun, saya pernah mengikuti parenting workshop di sebuah TK/SD di Depok, tentang pembelajaran Calistung di usia dini. Disini saya belajar bahwa belajar Calistung sangat bisa diajarkan pada anak-anak balita di sekolah dengan cara-cara yang fun dan seru, sehingga anak-anak bahkan tak merasa sedang belajar. Beberapa permainan yang dipakai di sekolah ini, kemudian juga saya praktekkan di rumah.

Di komplek perumahan kami, sempat dibentuk komunitas belajar-bermain untuk anak-anak, yang dilaksanakan setiap hari Minggu pagi. Awalnya untuk belajar bahasa Inggris dengan fun, namun kemudian berkembang dengan memasukkan banyak materi lainnya, seperti art, math, science, dll. Banyak materi dan metode dalam klub ini yang kemudian saya masukkan sebagai contoh trik belajar matematika dalam buku saya.

Sebenarnya, banyak dari kita yang sudah mulai mengajarkan matematika pada anak balita, bahkan tanpa disadari. Misalnya, ketika anak minta kue, kemudian kita bilang, "Mau berapa kuenya? Satu atau dua?". Atau ketika kita minta tolong ia untuk mengambilkan sesuatu, "Tolong ambilkan gelas yang besar ya Dek,". Atau ketika kita ke warung, sedang dalam perjalanan, banyak lagi.

Lalu kenapa kemudian, ketika anak masuk sekolah, tiba-tiba saja, Matematika menjadi musuh yang harus ditakuti?
Ini terjadi, biasanya karena proses 'pembelajaran' yang terselubung dan sambil bermain itu, tiba-tiba saja menjadi aktivitas yang serius dan menegangkan. Belum lagi ditambah orangtua yang bertingkah layaknya 'satpam' tiap kali anak sedang belajar atau mengerjakan PR.
Betul atau betulll?

Semua ide-ide itu mendapat kesempatan untuk 'tampil' ketika saya mengikuti kelas Online Menulis Non-Fiksi yang digawangi 3 guru cantik dan pintar : mbak Firmanawaty Sutan (yang ternyata satu kampus dengan saya), mbak Nunik Utami, dan mbak Erlina Ayu. Saya belajar menyusun ide-ide yang berserakan itu menjadi kerangka (outline) yang terstruktur. Modal outline ini kemudian saya kirimkan ke agen naskah, tanpa banyak berharap. Ternyata eh ternyata, Gramedia menyukai outline saya ! Surprise!

Maka dimulailah proses penulisan lengkap yang berlangsung selama kira-kira satu bulan, disambung dengan proses editing dan revisi sana-sini, lalu penantian panjang mengantri naik cetak, satu setengah tahun kemudian, akhirnya buku pertama saya pun terbit.. Alhamdulillah..



Buku sederhana namun padat ini berisi tips dan trik mengenalkan matematika pada anak balita, dalam berbagai situasi, saat bermain bersama, saat beraktivitas rutin di rumah, atau saat terjebak dalam perjalanan. Harapan saya untuk yang membaca buku ini adalah, para orangtua tidak lagi menganggap bahwa matematika itu sulit diajarkan, bahwa matematika itu selalu menjadi monster menakutkan.

Selain orangtua, guru PAUD/TK juga bisa menggunakan buku ini dan memanfaatkan ide-ide di dalamnya untuk dipraktekkan dalam kelas.

Ada yang sudah punya buku ini? Sudah dipraktekkan? Kalau sudah, silakan ceritakan pengalamannya dalam bentuk postingan blog, notes FB, dan colek saya ya. Saya menyediakan hadiah untuk teman-teman yang sudah mempraktekkan ide-ide dalam buku ini, dan bersedia membagikannya.
Cek info lombanya di postingan berikutnya!

Selamat bermain dan bersenang-senang!

Saturday, August 3, 2013

Dilema Calistung : Tentang Belajar Menulis (bagian 2)

Masih tentang Calistung, kapan sih sebenarnya anak harus mulai belajar menulis? Kenapa sih kebanyakan anak paling males kalau harus mengerjakan tugas menulis (baik di TK atau SD)? Alasannya biasanya, 'capek', 'pegel', 'bosen', dll.

Bagian 2 : Tentang Belajar Menulis

Untuk Hani, ketrampilan menulis (handwriting) juga merupakan hal yang sempat membuat stres. Ketika kelas 1 SD, setiap minggu ada tugas untuk menulis di buku, biasanya tentang pengalaman sehari-hari, atau menceritakan kembali isi bacaan. Masalahnya, tulisannya ituu.. ampuunn deh.. Bentuknya nggak karuan, ukuran besar kecilnya campur-campur, belum lagi naik turun (padahal bukunya sudah bergaris). Saya jadi sering ngomel, memaksa dia untuk berusaha menulis lebih bagus. Untungnya saya segera sadar, proses belajar yang menegangkan itu nggak akan menghasilkan apa-apa selain kemalasan anak untuk belajar lagi. Saya kemudian belajar lebih rileks dalam mendampinginya belajar, tidak memaksakan suatu proses, tidak memaksakan hasil yang harus sempurna, dan berusaha membuatnya enjoy dalam belajar.

Apakah kemudian tulisannya jadi bagus? Nggak juga. Sekarang ia sudah kelas 5, dan tulisannya kadang-kadang masih seenaknya. Sesekali tulisannya rapi, dan langsung saya puji-puji. Tapi ketika tulisannya berantakan, tidak lagi saya omeli, cuma saya tanya, "Ini huruf apa, kak? Kok nggak jelas yaa..".
Beberapa kali saya menemukan anak usia 5-6 tahun, tulisannya sudah rapiiii sekali. Apakah berarti dia lebih baik daripada anak lain yang tulisannya hancur lebur? Tidak kan?

Perkembangan anak itu meliputi beberapa aspek yang sama pentingnya dan sebaiknya berjalan seimbang, antara lain, perkembangan fisik motorik (kasar/halus), Emosi, Kognitif (Logika intelektual), Sosial dan Bahasa. Namun, setiap anak adalah unik, tidak pernah sama antara satu dengan lainnya. Ada yang sudah mampu berjalan sebelum 1 tahun, ada yang baru berjalan di usia 1,5 tahun. Begitu juga kemampuan berbicara, atau logika. Begitu juga dengan kemampuan menulis. Ada yang sudah pandai menulis di TK B, ada yang bahkan belum bisa memegang pensil dengan benar di kelas 1 SD.

Lalu kapan dong, sebaiknya anak belajar menulis? Apakah sudah saatnya anak TK belajar menulis?

Pada dasarnya, TK/PAUD adalah masa bermain. Maka, seandainya ingin mengajari anak usia TK menulis, lakukanlah dengan cara bermain yang menyenangkan, bukan memaksanya duduk diam dan mengerjakan worksheet.
Perhatikan pula, bagaimana perkembangan motorik halusnya? Mampukah ia menggenggam dengan mantap? Mampukah ia membentuk dan menyusun benda-benda dengan baik?
Sebelum anak belajar menulis, mantapkan dulu kemampuan motorik halusnya, lakukan kegiatan yang mampu melenturkan otot-otot halus tangan/jari, baru kemudian berlatih memegang alat tulis dengan benar.

Jadi bukan langsung memberinya kertas kerja bertuliskan huruf-huruf untuk di tracing (seperti gambar di bawah) jika motorik halusnya saja belum berkembang.

(Sumber dari sini)
Trus, kalau di TK sudah mulai belajar nulis, gimana? Orangtua harus ngapain?
Wew, sebaiknya jangan menggantungkan seluruh proses pembelajaran anak pada guru di sekolah ya ibu-ibu.. Waktu anak di TK itu paling hanya 2 atau 3 jam, sementara sisanya?
Apa saja yang bisa dilakukan anak (bersama orangtua) di rumah?

Banyaaaakkk sekali! Berikut contoh-contoh aktifitas bermain untuk mengembangkan motorik halus anak balita yang bisa dilakukan di rumah :

- Bermain playdough
Nggak usah beli playdough yang mahal-mahal, buat sendiri juga bisa kok. Resep membuat playdough ini juga saya selipkan dalam buku "Main Matematika Yuk!", atau bisa di-googling di internet.

- Bermain dengan kertas warna, gunting dan lem.
Gunakan gunting yang aman untuk anak usianya. Ajak anak menggunting lurus, lalu agak melengkung. Ajak membuat berbagai macam bentuk, lalu tempelkan bentuk-bentuk itu pada kertas putih.

- Bermain Pindahkan Benda
Ajak anak memindahkan benda-benda tertentu dari wadah yang satu ke wadah lainnya, menggunakan tiga jari (ibu jari, telunjuk, tengah). Lakukan bertahap dari benda yang besar hingga semakin kecil (kancing, bola kecil, dll). Bisa juga dilakukan sambil 'membantu' ibu di dapur, misalnya menggunakan potongan wortel, kacang, dll.

- Bermain dengan koran/kertas
Pernah kesal karena si kecil merobek-robek koran yang sedang/belum anda baca? Jangan marah bu, itu justru kesempatan anak untuk mengembangkan otot halusnya. Beri ia kertas koran bekas, lalu bersama-sama, ajak ia merobek koran dari atas ke bawah. Biarkan ia merobek hingga potongan kecil-kecil. Ajak juga membuat bola-bola dengan meremas-remas potongan koran, lalu mainkan. Terbangkan potongan-potongan koran, lalu biarkan ia mengejarnya.
Masih ada korannya? Ajak ia menggulung lembaran koran besar, lalu remas-remas memanjang, hingga berbentuk seperti tongkat. Jadikan itu sebagai pedang-pedangan, atau stik golf. Seru kan?

- Latihan tracing (meniru bentuk huruf)
Lakukan tracing di pasir, kertas amplas, di udara, atau mengikuti bentuk huruf pada mainan atau poster huruf yang besar.

- Bermain puzzle
Banyak manfaat dari mainan ini, selain melatih logika, juga melatih koordinasi tangan dan mata. Biarkan ia meletakkan potongan puzzlenya sendiri. Pilih puzzle yang sesuai dengan usianya.

- Meronce
Kalau mampir di toko mainan edukatif, selalu ada mainan ini, biasanya berupa manik-manik kayu besar dan tali. Namun, ortu juga bisa kok membuat sendiri. Potong sedotan warna warni, lalu ajak anak menyusunnya di benang wool.
 
- Melukis dengan tangan (finger painting)
Ini juga salah satu kegiatan yang paling disukai anak usia berapapun. Siapkan cat air yang aman dan kertas gambar ukuran besar (makin besar makin bagus).


Ajak ia membuat bentuk-bentuk dengan jari dan tangannya. Biarkan ia berkreasi. Jika tidak punya cat khusus finger painting (dijual di toko-toko mainan besar) atau khawatir dengan keamanan cat air yang biasa, buat saja sendiri.
Browsing di google : "resep finger painting", maka banyak sekali contoh-contoh resep yang bisa dipraktekkan. Misalnya di sini.

 - Melukis, mewarnai dengan crayon/pensil warna, dll

Masih banyak kegiatan seru lainnya. Yang paling penting adalah, pilih kegiatan yang disukai anak, bisa dilakukan bersama orangtua (sehingga sekaligus menguatkan bonding orangtua-anak).

Keluhan yang sering terlontar dari teman-teman orangtua biasanya, males berantakan, kotor, dll. Wah, bukankah ini justru bisa dianggap sebagai kesempatan mengajarkan anak kerapihan dan kebersihan? Setelah bermain, tunjukkan cara merapikan mainannya, membuang sampah, membersihkan bekas cat, dan biarkan ia menirunya.

Kalau perkembangan motorik halusnya sudah bagus, bolehlah mulai diberikan kertas kerja untuk melatihnya memegang pensil dan melakukan tracing dot-to-dot. Untuk tahap awal, latihlah ia membentuk garis-garis lurus pendek atas-bawah atau kanan-kiri atau diagonal. Lalu meningkat menjadi bentuk-bentuk melengkung. Ajak ia membuat bentuk-bentuk geometris dasar.

Nggak punya worksheet untuk dikerjakan anak?
Di toko buku banyak sekali dijual buku-buku aktifitas untuk latihan menulis, atau googling aja, download, print deh.

Sekali lagi, lakukan dengan senang hati. Dengan sekian banyak kegiatan menyenangkan di rumah, rasanya nggak akan lagi ada keluhan anak bosan dan akhirnya hobinya main keluyuran di luar tho? Apalagi, manfaatnya demikian besar. Jadi, tunggu apa lagi?

Sumber bacaan : modul Parent-Teacher Workshop Sekolah Al-Fauzien Depok, 2006

Thursday, August 1, 2013

Dilema Calistung : Tentang Belajar Membaca (bagian 1)

Masih ramai perdebatan tentang kapan seharusnya anak diajari calistung, apakah ketika TK? Atau ketika di kelas 1 SD, sesuai dengan Peraturan Pemerintah?
Lalu apakah proses pengajaran calistung itu harus dibebankan pada sekolah? Bagaimana sebenarnya peran orangtua di rumah? Bukankah orangtua yang sebenarnya khawatir dan lebih berambisi agar anak-anaknya cepat bisa membaca, mampu menulis dengan rapi, dan pintar berhitung?

Bagian 1 : Tentang Belajar Membaca
Belajar baca yuk Nak! (gambar dari sini)

Saya sendiri tidak ingat persis kapan saya mulai mengajarkan Hani membaca. Karena buat saya, belajar itu adalah proses yang panjang dan perlahan, yang seringkali baru dirasakan efektifitasnya di akhir proses. Yang jelas, sejak bayi-balita, saya sering membacakannya cerita, membelikannya buku sesuai usianya, mengajaknya berbicara (dengan bahasa yang benar, bukan bahasa bayi) dan mengamati lingkungannya. Saya pernah juga membeli beberapa buku aktifitas atau bimbingan untuk belajar membaca, tapi biasanya hanya terpakai di halaman-halaman awal, karena anaknya cepat sekali menangkap ilmu baru, namun juga cepat bosan. Tapi belajar membaca secara khusus, apalagi sampai les? Nggak pernah..

Tapi begitu saja, ketika TK pun saya biarkan ia menjalani proses belajar dan bermain di sekolahnya, tanpa saya beri target akademis harus bisa ini dan itu. Awal TK A, dia masih belajar membaca dan menuliskan namanya sendiri, dan ketika TK B, ketika banyak teman-teman lainnya masih harus belajar membaca, dia sudah lancar. Seringkali gurunya harus mengalihkan perhatiannya dengan memberi kertas warna, kertas gambar, gunting, lem, dan membiarkannya asyik sendiri di pojok kelas, daripada iseng menganggu temannya yang sedang belajar membaca.

Pernah saya mengikuti workshop Calistung di sebuah sekolah di Depok (anak saya sekolah di TK lain di Cibinong, jadi saya datang sebagai peserta umum), yang modul materinya menjadi salah satu sumber referensi buku saya yang pertama, "Main Matematika Yuk!". Di sana saya belajar bahwa belajar calistung bisa di buat menjadi begitu menyenangkan. Beberapa teknik yang diajarkan di sana sudah saya praktekkan di rumah, namun banyak juga ide-ide permainan baru yang bisa saya terapkan. Berikut ini saya rangkum sebagian besar ilmunya.

Dalam konsep The Whole Language, Membaca (Reading) adalah bagian dari 4 komponen bahasa (Mendengarkan/Listening, Berbicara/Speaking, Menulis/Writing, Membaca/Reading), yang semuanya saling berkaitan, sama pentingnya, dan harus dikembangkan maksimal. "Membaca" juga bukanlah sekedar mampu menyebutkan kumpulan-kumpulan huruf tertentu, namun membaca dalam arti luas adalah mampu mengungkapkan kembali apa yang kita lihat (dalam bentuk apapun), termasuk membaca gambar, peta, rambu, raut wajah, cuaca, dll.
Yang lebih penting --dan sayangnya sering dilupakan para orangtua-- bukanlah bagaimana agar anak BISA membaca, tapi SUKA membaca. Dengan SUKA membaca, anak akan menikmati prosesnya, dan berlanjut hingga ia dewasa.

Apa yang harus dilakukan orangtua agar anak SUKA membaca?
Sudahkah kita melakukan hal-hal dibawah ini?
- Orangtua rajin membaca, sehingga anak melihat bahwa membaca itu menyenangkan
- Menyediakan berbagai buku dirumah, sesuai dengan usia anak, yang mudah dilihat dan diakses anak, sehingga ia melihat buku ada dimana-mana, menjadi kesehariannya, dan ia bisa membaca (atau sekedar melihat-lihat isinya) kapanpun ia mau.
- Sesering mungkin membacakan buku cerita atau buku lainnya, atau sekedar menunjukkan gambar-gambar dalam buku.
- Tunjukkan isi buku yang pernah 'dibaca', dalam kehidupan nyata di sekitar. Misalnya bunga, hewan, jalanan, kendaraan, pantai, gunung, dll, kaitkan dengan buku yang pernah dibaca bersama.
- Berikan buku sebagai hadiah ulangtahun atau reward. (saya malah sering membelikan Hani buku, tanpa ada alasan atau even tertentu, terutama ketika menemukan buku bagus dengan harga diskon)
- Mengajak anak ke toko buku atau ke even-even yang melibatkan buku (pameran, bazaar, dll)

Ajak anak menikmati bukunya bersama kakak, adik dan temannya, jadi tambah seru! (sumber gambar dari sini)

Lalu kapan anak mulai diajarkan membaca?

Proses belajar membaca sebenarnya bisa dimulai sejak anak dalam kandungan, dengan mengajaknya berbicara, mempendengarkan ayat-ayat suci, musik klasik, bahkan membacakannya cerita. Setelah anak lahir, lanjutkan prosesnya dengan menyanyikan lagu, membacakan cerita dari buku atau mengarang sendiri (setiap saat, tidak hanya sebelum tidur). Ini akan menstimulasi pendengarannya, mengasah kemampuan Listening. Ketika anak mulai mengoceh dan berbicara, rajinlah mengajaknya mengobrol, ajak ia berbicara dengan bahasa yang baik, bukan meniru kata-kata bayinya yang lucu, sehingga kemampuan Speakingnya perlahan terasah.

Ketika ia mulai suka menjelajah, suka corat-coret, berikan ia media yang tepat dan aman, bukannya dilarang/dihalang-halangi. Latih motorik halusnya dengan permainan-permainan menyenangkan, untuk persiapan latihan menulisnya (Writing). Lebih lanjut tentang ini akan dibahas khusus di bagian berikutnya.

Ketika ia sedang tertarik dengan buku (yang bergambar banyak), ajak ia menyebutkan benda-benda di dalam gambar. Berikan permainan-permainan yang edukatif dan merangsang imajinasinya. Mainan edukatif tidaklah selalu mainan mahal, manfaatkan saja benda-benda yang ada di rumah. Bisa juga dengan melabeli benda-benda yang ada di rumah, meja, kursi, pintu, kulkas, jendela, dll sehingga anak mulai bisa mengasosiasikan antara benda nyata dengan simbol tulisannya. Lanjutkan prosesnya hingga ia balita, secara bertahap dan konsisten.

Ketika anak sudah menyukai proses belajarnya, selanjutnya akan lebih mudah untuk mengajarinya membaca. Tahapan belajar membaca adalah : membaca gambar, mengenali huruf tunggal (a,b,c, dst), membaca suku kata terbuka (bu-ku, ma-ta, bo-la, dst), membaca suku kata tertutup (berakhirkan konsonan/huruf mati), membaca diftong/sengau (au, ai, ny, ng), membaca double konsonan, terakhir adalah membaca dengan pemahaman.

Metode apa yang digunakan untuk belajar membaca?
Terserah, mau pakai sistem eja, langsung ke suku kata, pakai Glenn Doman, kartu baca, flashcard bergambar, apapun, yang penting adalah anak menyukainya dan tidak menjalaninya dengan terpaksa. Sesuaikan saja dengan karakter anak. Anak yang aktif dan tidak bisa diam, mungkin berbeda cara belajarnya dengan anak yang cenderung tenang dan bisa duduk diam.

Yang penting juga adalah, orangtua juga harus menyukai proses belajar ini bersama anak. Lakukan dengan antusias, tidak setengah hati. Antusiasme itu menular lho!
Lakukan tanpa target dan paksaan. Support ia ketika minat membacanya mulai tumbuh.

Ada yang mau menambahkan?

(Sumber bacaan : modul Parent-Teacher Workshop: "Persiapan Membaca, Menulis dan Menghitung untuk Anak Usia Dini", Sekolah Islam Al Fauzien, Depok, 23 Desember 2006)

Saturday, June 22, 2013

Asyik Masyuk Dengan Musik

Bicara tentang musik bersama saya? Waktu anda akan habis tak bersisa. Hehehe..

Musik hampir selalu ikut dalam setiap momen hidup saya. Musik yang asyik buat saya, adalah musik yang mewakili setiap momen-momen itu. Saya mengalami masa-masa ngefans berat New Kids On The Block dan Tommy Page saat SMP. Kuis favorit yang ditayangkan TVRI sekitar awal era 90-an adalah Gita Remaja alias kuis tebak lagu ala Tantowi Yahya. Hampir setiap soal saya babat habis. Andai saya bisa ikut jadi peserta, mungkin sudah jadi juara umum.

Saya bahkan pernah ditegur guru SD saya karena ketika Ujian Praktek Seni Musik kelas 6, bukannya menyanyikan lagu daerah atau lagu perjuangan, malah menyanyikan lagu Layu Sebelum Berkembang! Parah!

Masa SMA? Wow, itu masa jaya-jayanya TOP 40. Genre slow-rock merajai di era ini. More Than Words-nya Extreme jadi lagu kebangsaan. Namun selera musik saya masih random alias acak di masa-masa ini. Ababil. Abege Labil.

Masuk kuliah di Bandung, selera musik saya mulai membaik. Pengaruh terbesar adalah sahabat-sahabat saya yang sebagian besar pecinta musik. Teman-teman yang pria bahkan membentuk band angkatan, dengan kami, yang wanita, sebagai manajer, merangkap seksi konsumsi, merangkap groupies. Tugas utama saya adalah, mencarikan lirik lagu yang akan dinyanyikan. Semester pertama, kami jam session berpindah-pindah dari kos yang satu ke kos lainnya. Ketika ada acara pentas seni di kampus, kami patungan untuk bisa sewa studio latihan. Gitar jadi instrumen wajib di sela-sela belajar bersama. Karaoke jadi agenda utama saat menghabiskan malam minggu bersama. Tak peduli suara kami separah apa, yang penting happy. Apalagi karena karaokenya di Happy Puppy.

Hasilnya adalah, di semester pertama itu, nilai-nilai sebagian besar dari kami didominasi oleh huruf...C.

Apakah kami lalu membubarkan band gurem itu? Tidak. Frekuensi nongkrong kami memang berkurang, tapi sekali-kali kami masih ber-karaoke. Band juga beberapa kali berganti personil, dan masih diminta tampil di acara syukuran wisuda, karena teman-teman saya yang anak band itu sudah terlanjur populer (walau suaranya nggak bagus-bagus amat).

Musik selalu jadi bagian pergaulan kami. Kami mengerjai teman dengan mengutak-atik lagu. Kami menyatakan cinta, patah hati, kekaguman, kekecewaan, dengan lagu. Patah hati saya pertama, diwakili oleh lagu Always-nya Bon Jovi. Yang kedua, Aku Cinta Kau dan Dia-nya Ahmad Dhani. Ketika harus menginap di laboratorium untuk penelitian, sepanjang malam kami ditemani musik full-beat yang ramai ala Backstreet Boys dan N'Sync, supaya kami tidak kesepian dan mengantuk. Apalagi gedungnya lumayan seram kala sepi di tengah malam. Hiiii..

Seorang teman pernah berujar, bahwa nanti calon suaminya harus bisa bermain gitar. Lalu saya menambahkan, calon suami saya harus bisa bermain gitar dan bisa menyanyikan lagu Seputih Melati (yang dinyanyikan Dian Permana Putra).
Lalu apa yang saya dapat? Akhirnya saya dapat suami yang pemain gitar, beliau pernah ngamen semasa SMP, pernah jadi gitaris terbaik di SMA, penggemar berat The Beatles, daann... bisa menyanyikan lagu Seputih Melati! Eh, tapi lebih baik saya yang menyanyi, soalnya suara dia parah!

Suatu kali, kami berdua pernah mengunjungi pasar seni kampus saya, dan menonton penampilan sebuah band lokal yang saat itu baru populer di Bandung. Band itu menyanyikan lagu-lagu Queen dengan sangat bagus. Vokalisnya memiliki suara merdu yang melengking tinggi. Band itu juga menyanyikan sebuah lagu asli mereka, yang membuat kami ikut melompat-lompat kompak bersama penonton lainnya. Band itu di kemudian hari menjadi sangat top di Jakarta, bahkan seluruh Indonesia. Band itu adalah Seurieus. Vokalisnya Candil. Dan lagu yang membuat saya melompat-lompat di halaman kampus kala itu adalah "..daripada musik metal, lebih baik musik jazz!..". Seru!

Selera musik saya dan suami sangat berbeda. Saya penyuka jazz, dia rocker. Saya tak suka The Beatles, kecuali jika lagunya dinyanyikan orang lain. Sementara dia, Beatles-mania sejati! Tapi hobi bermain gitarnya bertemu dengan hobi saya menyanyi. Mungkin karena sadar suaranya sering 'lari-lari' tidak jelas nadanya, saya selalu didaulat untuk menyanyi setiap kali dia ingin mengulik akord gitar dari sebuah lagu.

Saya dan beberapa ibu-ibu tetangga pun pernah mengisi acara panggung agustusan, dengan suami saya sebagai gitaris, bersama tetangga lain yang juga hobi bermusik. Ibu-ibu yang lain memang suaranya merdu, kalau saya sih sepertinya hanya sekadar punya level kepercayaan diri yang kelewatan. Puncaknya, saat penampilan terakhir kami beberapa tahun lalu, mic saya mati, entah kenapa. Mungkin karena tak sanggup menanggung ke-over PD-an saya ya..

Biarkan sajalah. Yang penting, suara saya masih diterima di rumah saya sendiri. Saya masih menikmati musik setiap hari. Masih ada You Tube. Internet mati? Saya masih punya sebuah external hardisk berisi ribuan lagu berbagai era, yang masih terus bertambah karena hobi saya mengunduh lagu. Suami saya juga tetap menyukai suara saya kok.

Masih banyak cerita saya tentang musik. Namun jika diceritakan semua, sama saja menceritakan seluruh hidup saya. Ingin ditemani menikmati musik asyik? Tag me anytime!

Lomba Blog Kumpulan Emak-emak Blogger dan Langit Musik

Wednesday, June 19, 2013

Second Child : rebellion or lack of character?

Menjelang kelahiran anak yang kedua ini dalam beberapa bulan ke depan, membuat saya mulai berpikir, akan seperti apa anak yang satu ini? Sama aktifnya dengan sang kakak, atau malah lebih pecicilan (waduhh!). Atau malah lebih kalem?

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, ada hal yang unik yang hampir selalu terjadi pada anak kedua dalam keluarga (terutama jika ia juga adalah anak tengah).
Seorang teman yang memiliki 3 anak, anak keduanya yang bermasalah. Selain akademiknya yang tertinggal, karakternya juga sulit diatur dan cenderung hiperaktif. Seorang teman lainnya mengeluhkan anak keduanya yang sulit mandiri, selalu tergantung temannya, dan lebih manja.

Saya juga anak kedua, dari 4 bersaudara. Yang terjadi adalah, saya menjadi pribadi yang suka tampil beda, cenderung membangkang, pemberontak dan suka melawan tradisi. Ibu saya tipe orangtua yang tegas namun tidak pernah membatasi keinginan dan ide-ide anak-anaknya. Jadi, makin berkembanglah ide-ide 'rebellion' saya.
Dimulai dari TK yang terpaksa dipercepat, dari TK A saya langsung masuk SD, karena guru TK saya sudah 'nggak sanggup' menangani saya yang selalu mendahului mengerjakan tugas, suka iseng baca majalah yang sedang dibaca guru. Karena umur yang kurang, masuklah saya ke SD yang 'ecek-ecek'. Di sini lagi-lagi saya dominan. Dibawah bayang-bayang kakak laki-laki saya (di SD lain yang lebih populer) yang sangat aktif olahraga dan ekskul serta memiliki banyak teman, di pergaulan saya cenderung menjadi penengah. Soal olahraga? Saya nol besar!

Kompensasi saya akhirnya di akademis. Saya pacu prestasi saya setinggi mungkin. Selepas SD, saya masih mengikuti tren keluarga masuk ke SMP terbaik di Depok saat itu. Tapi ketika SMP selesai, saya menolak keras masuk SMA terbaik di Depok. Saya ingin ikut sahabat-sahabat saya yang melanjutkan ke Bogor.

Dikasih? Ya nggak lah! Selain harus naik kereta sendirian, tak familiar pula kami dengan Bogor. Akhirnya saya dan ibu tawar menawar, boleh yang jauh, asal mudah diawasi. Akhirnya, karena ibu masih dinas mengajar di daerah kalibata, pilihan kami jatuh pada SMAN 28 di Ragunan.

Saat masuk siang, saya berangkat bersama ibu ke Pasar Minggu. Ke sekolah, saya bisa naik 2-3 kali angkot/bis. Kalau masuk pagi, saya bahkan berangkat jam 5.30 untuk menghindari macet.
Saya tidak pernah mengeluh. SMA saya adalah salah satu sekolah negeri terbaik di Jakarta. Saya bertemu teman-teman yang baik dan seru. Saya bisa main ke Blok M. Saya bisa pulang malam jika ada bimbel siang hingga sore harinya. Kelas 3 SMA, saya berangkat setelah subuh dan pulang jam 9 malam.

Belakangan, saya berpikir, pasti ibu saya dulu cemas sekali ya memikirkan ulah saya, si Tukang Ngeyel ini.. :)

Sampai di situ saja? Tidak. Lulus SMA, saya menolak mendaftar ke UI, dengan alasan terlalu dekat dari rumah. Saya menolak mendaftar ke STAN, dengan alasan andai diterima pun, saya tidak akan menyukai pelajarannya (I hate Economics!). Saya ngotot mendaftar ke ITB untuk UMPTN, Teknik Kimia pula, yang ratingnya sangat tinggi saat itu.
Ibu sangat khawatir saat itu, menganggap pilihan saya terlalu berat. Untuk menyenangkan beliau, kami mencari pilihan program studi yang saya suka jika saya tidak lulus UMPTN. Ke D2 Kimia Terapan UI, ke Poltek ITB, bahkan akhirnya saya mendaftar ke AKA Bogor. Pilihan kedua UMPTN pun saya pilih UNDIP (yang ratingnya jauh dibawah, kalau UGM masih terlalu tinggi).

Ndilalah, saya diterima di AKA Bogor tanpa tes, tapi harus setor uang daftar ulang, deadlinenya sebelum pengumunan UMPTN. Ibu sudah meminta saya memutuskan, sudah menyiapkan uangnya, karena benar-benar khawatir saya tidak lolos UMPTN.

Saya melakukan aksi bisu. Saya tidak bersiap-siap ke AKA, karena memang hati saya ada di UMPTN. Tapi saya juga tidak ingin mengecewakan ibu.
Hari terakhir daftar ulang AKA, ibu lupa. Saya ingat, tapi saya diam saja. Malam harinya, ibu tiba-tiba teringat, "Mbak, bukannya hari ini harusnya daftar ulang?"
Sambil nyengir saya bilang, "Iyaahh.. Udah deh, ibu do'ain aja Rani lolos UMPTN yaa.."
Ibu menyerah.

Ada yang masih ingat hari pengumuman UMPTN?
Setelah subuh, kami deg-degan menanti tukang koran lewat. Saya tidak bisa tidur semalaman, mungkin orangtua saya juga. Ketika tukang koran datang dan menyerahkan koran berisi pengumunan UMPTN, tanpa menunggu lebih lama, digelarlah lembaran-lembaran besar itu di ruang tengah.
Mencari nama dan nomor saya.

Ketika akhirnya ketemu, akhirnya saya bisa bernafas lega. Ibu saya langsung keluar rumah membawa koran berisi nama saya yang sudah digarisbawah dan dibulatkan, karena para tetangga juga menanti kabar saya. Ibaratnya, 'bisul' kami berminggu-minggu sudah pecah... hehehe..

Apakah kemudian saya berhenti membuat ibu saya cemas? Sepertinya tidak, karena petualangan hidup saya di Bandung, jauh dari orangtua, mungkin membuat ibu saya cemas setiap harinya. Saya berterimakasih sangaaaattt pada beliau karena membiarkan saya mengambil jalan yang saya pilih, mempertanggungjawabkannya sendiri, tanpa menuntut banyak.

Sekarang, ketika saya telah menjadi ibu, mungkin ini sudah garis hidup, saya dikaruniai anak dan suami yang juga berkarakter 'keras', pemberontak, pelawan arus. Jika dulu saya dimanjakan, serba dilayani, serba diatur, serba dibantu, mungkin saya tidak akan sanggup menjalani peran saya yang sekarang.

Sekarang  saya malah gemes melihat anak yang semua tergantung pada orangtuanya, atau temannya, dan tak mampu mengambil keputusan sendiri. Dan saya harus bisa kuat membiarkan anak saya mengambil pilihannya sendiri, seabsurd apapun itu, selama jalan itu halal, tak peduli anak saya yang pertama, atau calon anak kedua di dalam rahim ini.

Jadi ingat dialog dengan Hani hampir setiap hari :
"Bun, baju yang ini dengan celana yang ini, matching nggak?"
"Ya nggak laahh.. warnanya nggak nyambung tuh.."
"Baguslah.. Hani mau pake yang ini aja.. Hani suka yang nggak matching!"

*bunda cuma bisa tepok jidat*

:)))

Cibinong, 19 Juni 2013

Tuesday, June 18, 2013

Kunjungan ke Istana Kepresidenan Bogor

Kemarin, 17 Juni 2013, kami, saya dan Hani, 'nekad' menyambangi Istana Bogor. Kenapa 'nekad'? Karena kami cuma bermodalkan informasi sekilas dari teman dan dari Republika Online, bahwa minggu ini (17-20 dan 22 Juni), Istana Bogor terbuka untuk umum. Syaratnya, berpakaian rapi, tidak membawa tas, usia 10 tahun ke atas. Nah, Hani kan belum 10 tahun sampai September nanti, dan nggak mungkin lah nggak bawa tas sama sekali.
Tapi kami tetap datang. Resikonya, jika tidak bisa masuk hari itu, paling tidak daftar untuk hari berikutnya. Toh, banyak tempat lain di Bogor yang bisa disambangi, museum misalnya.

Sampai di Bogor, maceeetttttt ceettt terutama menjelang area Kebun Raya. Demikian ramainya kah? Alhamdulillah, Hani selalu riang walau udara pengap di dalam angkot, ditambah cuaca yang mendung di Bogor.
Turun angkot, Hani sudah gatal ingin memberi makan kijang-kijang. Tapi saya bilang, "Fokus! Kita tanya dulu ke pak satpam Istana.."

Kata seorang petugas di depan pintu gerbang Istana, kami bisa masuk hari itu juga, tapi harus mendaftar dan ambil tiket dulu di kantor DPRD Kota Bogor, Jl Kapten Muslihat, persis di seberang pintu gerbang Istana. Asyiikkk..
Di halaman kantor DPRD, telah disediakan tenda tempat calon pengunjung Istana mendaftar (atau daftar ulang jika sudah daftar hari sebelumnya, karena pendaftaran sudah dibuka tanggal 10 Juni). 'Penampakan' kami cuma dilihat dari atas-bawah, rapi atau nggak, pakai sepatu atau nggak, dan karena Hani tinggi, nggak ditanya lagi umurnya berapa, langsung dikasih jempol oleh petugas di meja pendaftaran "Siipp!"
Dari meja pendaftaran, setelah mendapat tiket (g.r.a.t.i.s! :)), dan cap merah di punggung tangan kanan, kami dipersilakan menunggu giliran di tenda lainnya. Di sini, disediakan kursi cukup banyak, lokasi dekat kantin kantor, mesjid tinggal jalan ke belakang, bahkan ada tenda PMI pula.

Calon pengunjung yang berkumpul di kantor DPRD, akan dibagi-bagi menjadi rombongan-rombongan, yang akan dikawal menuju Istana sesuai jadwal. Saran saya, datanglah lebih pagi, jadi bisa ikut rombongan yang awal-awal, sekitar jam 8. Setiap jam, akan diberangkatkan rombongan baru. Tapi karena kami tiba tepat jam 11.30, kami baru bisa berangkat jam 13.00, karena tepat jam istirahat. Untungnya, kantin dan mesjid dekat.

Setelah ada instruksi dari dalam istana, rombongan kami akhirnya berangkat. Tas kami dikumpulkan dalam mobil pick-up (yang dikawal pasukan Pramuka), yang nanti bisa diambil setelah kunjungan di pintu keluar Istana. Yang boleh dibawa hanya benda berharga, seperti dompet dan ponsel.
Horeee! Kesampaian juga main ke Istana Bogor!

Di Istana, kami diajak berkeliling melewati lobby dan lorong-lorong tertentu (tidak semua area bisa dimasuki tentunya) dan diberi pengarahan oleh pasukan Paskibraka kota Bogor. Area yang dijelaskan (hanya dilihat dari lobby atau pintu yang terbuka, tidak bisa dimasuki) : ruang santai tamu negara, ruang makan keluarga presiden, ruang kerja presiden, perpustakaan presiden ; sementara beberapa ruangan yang bisa kami masuki antara lain ruang gala dinner dengan lukisan foto para presiden Indonesia sejak awal merdeka, dan ruang Garuda atau ruang pertemuan resmi presiden dengan tamu-tamu kenegaraan.

Boleh foto-foto? Hanya di halaman dan sekitarnya saja, sementara di area dalam, ketika berkeliling, dilarang untuk mengambil foto. Setelah selesai sesi keliling, disediakan juga jasa pembuatan foto langsung cetak sebesar 8R (atau 6R ya? lupa ukurannya :P). Harganya antara 25ribu - 50ribu, tergantung jumlah orang dalam foto. Tapi karena area foto yang bisa diambil juga hanya seputaran halaman istana, kebanyakan orang memutuskan untuk mengambil foto sendiri.
Hani tadinya pengen foto di atas, bareng Garuda..
Cuma sekitar serambi aja yang boleh difoto
Nggak boleh foto sama kijang, sama capung aja deehh!

Satu keinginan Hani yang belum tercapai, foto bareng para kijang! Area berkumpulnya para kijang ada di sudut taman Istana dan dijaga petugas. Kami tidak boleh mendekat.
Kijangnya jauuuhh di belakang sana

Sedangkan lokasi favorit Hani di dalam istana adalah Perpustakaan, karena bukunya banyak yang langka ("ada buku tentang Linen, bun!" ; "Lenin yang dari Rusia maksudnya?" ; "Iya itu maksudnya.." cengir Hani), dan banyak souvenir-souvenir hadiah dari tamu-tamu negara.

Di jalan keluar, menjelang pintu gerbang, kami melewati toko cinderamata (Hani beli pulpen saja), penjual minuman dan es puter (3000 rupiah saja), yang sepertinya digelar khusus untuk even ini. Jadi tidak perlu takut haus karena kelelahan setelah berkeliling.

Di berita disebutkan bahwa minimal usia pengunjung adalah 10 tahun, tapi kemarin saya perhatikan ada juga beberapa anak yang lebih kecil, seusia kelas 1-2 SD. Sepertinya, yang penting adalah anak bisa tertib, tidak rewel, berpakaian rapi (tidak harus batik) dan bersepatu tertutup.

Yang jelas, menurut saya, anak harus mau jalan cukup jauh, tidak mudah mengeluh karena pegal. Kalau kami, yang gempor malah saya, yang sedang hamil lima bulan jadi nggak bisa jalan ngebut seperti biasanya. Hani malah masih kuat pecicilan kesana-kemari, malah nggak mau langsung pulang, dan minta ke Depok untuk main ice-skating di Margocity.

Jadi, perjalanan lanjuutttt...

Friday, June 14, 2013

Cerpen : OBSESI



ilustrasi : Majalah Sekar

Sebagian besar tamu sudah pulang. Tapi tenda belum dibongkar. Bendera kuning masih berkibar. Karangan bunga di halaman masih segar.

Kakak-kakak Nina sudah kembali ke kehidupan masing-masing, ke keluarga masing-masing. Terlalu banyak kepentingan dan urusan yang mereka tinggalkan selama dua hari kemarin, demi menemani Nina, sang bungsu.

Sekarang saatnya Nina menghadapi kenyataan sendirian. Tetangga-tetangga hanya sesekali menjenguknya, mengantarkan makanan, mencucikan pakaian, membersihkan rumah. Nina tidak dibiarkan melakukan apa-apa, kecuali berkabung, berdiam di dalam kamar.

Malam Kamis lalu, tidur Nina dibangunkan oleh sebuah telepon. Tentang Haris. Suaminya mengalami kecelakaan parah di area peristirahatan km.10. Nina berburu taksi di tengah malam, menyusul ke rumah sakit, tapi terlambat. Ia tak sempat melihat suaminya hidup.

Dunia jungkir balik setelah itu. Kerabat-kerabatnya datang, mengurusi semua urusan pemakaman, karena Nina sama sekali tak mampu melakukan apa-apa. Ia hanya diam dan mengurung diri di kamar.
Diam. Bisu. Ia bahkan tak terdengar menangis. Matanya hanya berkaca-kaca nanar.
Orang berbisik, dan beberapa mengatakan bahwa ia shock berat. Beberapa menyanjung ketegarannya. Tapi tak ada yang tahu apa yang benar-benar dirasakan Nina saat ini.

Nina terduduk di lantai kamarnya, tak mempedulikan beberapa tetangganya yang sibuk di luar. Entah ada yang memasak, menyapu, atau mengobrol, Nina tak lagi peduli. Ia hanya memandangi layar telepon genggamnya yang kosong. Ia mematikannya dua hari lalu.
Betapa ia ingin memutus hubungan dengan dunia. Betapa ingin ia mengurung dirinya selamanya di kamar ini. Di dunianya sendiri.

Ia mendengar bisikan seorang tamu, bahwa ia terlalu mencintai Haris, hingga shock seperti ini. Cinta? Nina bahkan tak tahu lagi apa itu cinta.

Sampai semalam. Beberapa sahabat semasa kuliahnya datang. Entah darimana mereka mendengar berita duka ini. Nina menerima mereka dengan senyum datar. Senyum Nina hanya mengembang ketika muncul sepasang mata coklat itu di hadapannya. Mata coklat terindah sepanjang masa.
Basa-basi. Lalu lebih banyak basa-basi lagi. Nina benci basa-basi. Nina benci tatapan kasihan. 

Sebenarnya, Nina sudah begitu membenci banyak hal beberapa tahun belakangan ini.
“Telponmu mati, Nin?” tegur mata coklat itu, ketika rombongan itu mau pulang.
“Ya, aku matikan..” sahut Nina tanpa ekspresi.
“Nyalakan ya..” bisiknya lagi. Nina membaca kilat harap di dalam mata coklat itu, dan mengangguk lemah.

Dan, sekarang Nina di sini. Dalam keinginan menyalakan kembali ponselnya, dan ketakutan akan pesan-pesan yang mungkin diterimanya. Keinginannya akhirnya menang.

Ponsel Nina langsung berdecit-decit tiada henti, begitu banyak SMS masuk, pesan suara, notifikasi email, entah bunyi apa lagi. Semua Nina abaikan kecuali satu nomor. SMS dari sang pemilik mata coklat indah itu.
Thu, 10:12 AM : Nina, are you alright?
Thu, 11:20 AM : Nin, kenapa HP mati? Aku cemas, tolong kabari ya.
Thu, 08:10 PM : Nina, please. Aku harus bicara.
Fri, 12:54 AM : Nin, aku dengar dari grup tentang Haris. Turut berduka ya. Aku kesana nanti sama teman-teman.
Fri, 06:35 PM : Aku lagi di jalan ke rumahmu. Tolong balas.
Fri, 07:15 PM : Teman-teman semua sedih memikirkanmu. Terutama aku.
Fri, 08:10 PM : Nin, aku sekarang masih di ruang tamumu, sedang duduk di seberangmu. Kau kelihatan hancur. Aku tahu kau menutupinya, tapi kau tak pernah bisa membohongi aku. Kau hanya pura-pura.
Fri, 09:38 PM : Nina dear, aku pulang ya. Aku ingin tinggal menemanimu, tapi nggak enak sama teman-teman. Tolong balas smsku. Jangan diam terus. Aku sangat mencemaskanmu.
Fri, 11:50 PM : Selamat malam Nina, semoga kau baik-baik saja. Aku masih memikirkanmu.
Sat, 05:15 AM : Sudah bangun Nin? Aku masih menunggu smsmu.
Sat, 07:10 AM : Please Nin, balas. Aku mau telpon. Aku ingin bicara.

Nina menengok jam di atas meja. Sembilan pagi lewat sedikit. Jari telunjuknya mulai meningkahi touch-screen ponselnya.
‘Aku baik-baik saja. Jangan khawatir.’
Hanya lima menit setelah reply pesan itu terkirim, ponselnya berbunyi nyaring. Nina tak perlu menduga siapa yang menelpon.
“Ya, halo?”
“Ninaa! Aku bisa gila nunggu smsmu dari kemarin! Kenapa dimatikan?”
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, Ren..”
“Tidak, kau tidak baik-baik saja. Jangan bohong..”
“Rendi..”
“Nina, aku benar-benar mencemaskanmu.. Aku ke rumahmu ya?”
“Jangan!”
“Kalau gitu, kita ketemu di luar?”
“Tidak.. Aku tidak bisa, aku masih dalam masa berkabung. Aku nggak bisa pergi kemana-kemana sampai 4 bulan ke depan. Please, nggak usah telpon aku dulu ya..”
“Empat bulan???”
“Empat bulan sepuluh hari, tepatnya..”
“Nggak boleh bicara denganmu empat bulan lebih?? Aku bisa gila, Nina!”
“Itu masalahmu..”
“Aku akan tetap SMS..”
“Tidak boleh..”
“Aku tidak minta ijinmu.. Kalau kau nggak balas, aku akan telpon..”
Nina mendesah dalam, berat. “Terserah. Aku pergi dulu..”
“Nin! Tu-....” Tut. Putus.
---

Rendi membanting iPhone-nya ke atas kasur. “Siaaaallll!!!!”
Ia mengacak-acak rambutnya yang sudah kusut sejak semalam. Semalaman ia tak bisa tidur, menanti balasan SMS Nina, mencoba menelponnya, terus memikirkannya.

Terduduk ia di atas karpet empuk apartemennya. Sesenggukan. Ingin rasanya ia meledakkan semua yang ia rasakan di dadanya. Ingin ia teriakkan pada dunia, betapa ia mencintai Nina. Betapa ia mampu melakukan apapun demi Nina. Apapun.

Dunianya berubah total, ketika ia bertemu kembali dengan Nina lima tahun lalu, setelah berpisah lebih dari sepuluh tahun sebelumnya. Nina cinta pertamanya, bahkan mungkin satu-satunya cintanya, karena beberapa kali ia menjalin hubungan dengan wanita, tapi Nina tak pernah lepas dari ingatannya. Tidak juga ketika Rendi menikahi Kanya, teman kantornya.

Pernikahan itu baru berjalan dua tahun, ketika Rendi bertemu Nina kembali dalam sebuah reuni. Setahun kemudian, Rendi dan Kanya bercerai. Kini, Kanya sudah menikah lagi dengan seorang pengusaha kaya. Sementara Rendi, masih terus terperangkap dalam masa lalunya bersama Nina.
Tapi Nina tidak tahu itu.

Nina tak tahu bahwa Rendi tak pernah berhenti mencintainya, tak peduli berapa tahun mereka berpisah. Ketika Nina terlihat bahagia saat menceritakan pernikahannya, Rendi mengerti, bahwa ia hanya bisa mencintai Nina dari jauh. Jadi, ia hanya sesekali mengirimi Nina pesan pendek, atau telepon basa-basi, menanyakan kabar, walau setiap saat ia menahan keinginannya untuk bertemu Nina.

Tapi tidak lagi, ketika suatu hari, dua tahun lalu, tak sengaja ia bertemu Nina di sebuah mall di Jakarta. Nina terlihat kacau saat itu. Lalu sejak itu, mereka sering bicara, sms, atau telepon. Rendi akhirnya tahu, bahwa sepanjang pernikahannya, Nina tak pernah bahagia. Haris bukanlah laki-laki sopan dan baik hati seperti yang dikenalnya sebelum menikah. Nina merasa Haris tak pernah benar-benar mencintainya, dan hanya menikahinya demi status sosialnya.

Dari Nina, Rendi tahu bahwa Haris punya perempuan simpanan dimana-mana, berganti-ganti. Nina bertahan demi nama baik keluarga besarnya.
“Nina, kau nggak bisa begini terus..” kata Rendi suatu kali di salah satu telepon-telepon mereka, ketika Haris sedang ‘tugas’ keluar kota.
“Ren, aku tak mungkin minta cerai.. Keluarga Haris itu keluarga priyayi, dan yang mereka tahu, Haris itu anak sempurna. Aku yang akan jadi kambing hitamnya..” kilah Nina.
“Kau pengecut..”
Nina terdiam, membuat Rendi merasa bersalah.
“Maaf Nin.. Tapi aku nggak bisa membiarkan kamu seperti ini..”
“Aku tahu, kau memang temanku yang baik.. Makasih ya sudah mau mendengarkanku..”

Glek. Saat itu Rendi sadar, Nina tak pernah menganggapnya lebih dari sekedar teman. Ia juga sadar, ialah yang sebenarnya pengecut, karena tak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada Nina. Tidak dulu di kampus, tidak juga saat ini.

Tapi itu tak menghentikan obsesinya pada Nina. Untuk memilikinya. Untuk melindunginya. Tidak dulu. Tidak sekarang. Terutama sekarang, setelah Nina akhirnya ‘bebas’ dari Haris.
Masih dengan muka lusuh dan hati remuk, Rendi keluar, menuju parkir, dimana CRV hitamnya menanti. Ia melirik sedikit baret di bemper depan, dan mengernyit. Aku harus membawanya ke bengkel besok. Ke salon mobil nggak cukup ternyata.
---

“Kami masih melacak pelaku tabrak larinya, Bu Nina. Tapi sudah ada petunjuk dari rekaman CCTV di area parkir. Kami harap ibu bersabar.”
Polwan itu bicara panjang lebar pada Nina. Ia hanya menanggapi seperlunya, tanpa ekspresi. Tak mempedulikan fakta-fakta mengejutkan yang disampaikan pihak polisi kepadanya. Hatinya sudah terlanjur kosong.

Polisi bilang, di malam itu, Haris sedang berada di rest area, bersama seorang wanita. Mereka baru keluar dari mobil, hendak menyeberang, ketika ada mobil lain yang menabrak mereka. Malam itu tempat parkir yang gelap begitu sepi. Tak ada saksi mata. Tapi polisi sudah mendapat petunjuk tentang mobil pelaku tabrak lari itu.

Nina tak merasakan apa-apa ketika polisi menyebutkan nama dan menunjukkan foto seorang wanita. Ia tidak mengenalnya. Katanya, wanita itu masih dirawat di rumah sakit karena luka dan shock. Nina tidak peduli. Selama bertahun-tahun bersama Haris, begitu banyak wajah lain, begitu banyak nama. Sudah lama Nina tak peduli.

Setelah polisi pergi, Nina kembali mengurung diri di kamar. Ponsel dinyalakan. Lagi-lagi, ada beberapa sms dari Rendi. Ingin sekali ia membalas semuanya. Rendi telah membantu luka hatinya dua tahun terakhir ini, hanya dengan bicara. Bicara dengan Rendi telah menjadi kebutuhan rutinnya. Obat penenangnya. Nina pun tahu, ada yang berbeda dari perhatian Rendi, entah apa, tapi Nina menikmati setiap obrolan mereka di telepon, seremeh apapun. Ada yang bergelitik aneh dalam perutnya, ketika mendengar tawa renyah Rendi, menyimak lembut kata-katanya. Walau hanya bertemu Rendi beberapa kali, setiap menemukan mata coklat Rendi, ada yang mengiris di dalam dadanya. Nana tahu, walau tak pernah mengungkapkannya terus terang, Rendi merasakan hal yang sama.

Tapi kali ini ada hal lain yang harus ia lakukan. Tidak ada hubungannya dengan Rendi. Dipilihnya sebuah nomor. Pemilik nomor itu belum tahu tentang kepergian Haris. Pemilik nomor itu adalah pengacaranya. Ia mengetik beberapa baris, dan mengirim.

Tak sampai setengah jam kemudian, ponselnya bergetar. Pengacaranya menelpon.
“Ya pak.. Ya, kejadiannya malam Kamis kemarin, maaf saya baru sempat mengabari, di rumah repot sekali.. Jadi berkasnya nggak usah dibuat pak, saya tak perlu lagi.. Ya, saya tahu… Tidak apa-apa, saya akan tetap bayar.. Berapa? Kan kita baru dua kali pertemuan.. Oh begitu? Baik.. Tolong sms saya no rekeningnya.. Tagihan difax saja ya.. Baik.. Baik.. Terimakasih banyak Pak.. Selamat sore..”
Tut.

Nina menarik nafas dalam. Berat. Terlalu banyak urusan yang harus diselesaikannya . Surat-surat, tagihan, kontak agen asuransi, kantor Haris, belum lagi tamu yang sesekali masih datang. Menelpon pengacara perceraiannya adalah urusan terakhir hari ini.

Ya, Nina sudah berencana untuk menggugat cerai Haris. Ia baru sampai tahap konsultasi dengan pengacara dan persiapan surat gugatan. Haris bahkan belum tahu. Sekarang, semua itu tak perlu.

Dulu ia pikir, jika ia tak lagi bersama Haris, ia akan merasa tenang. Lega. Tapi ketika ini benar-benar terjadi, bukan itu yang ia rasakan. Saat mengurusi semuanya sendirian, ia menghadapi kenyatan bahwa perhatian keluarga besar Haris hanya sebatas pengurusan pemakaman dan harta warisan. Simpati mereka pada Nina sebagai istri Haris, hanya basa basi. Nina tak mempermasalahkan soal harta peninggalan Haris. Semua asset atas nama Haris, Nina berikan pada ibu mertuanya. Nina hanya akan mengambil rumah ini, satu-satunya yang beratasnamakan Nina dari beberapa rumah yang dimiliki Haris, dan sebuah mobil sedan hadiah ulangtahun dari Haris dua tahun lalu (Nina tertawa getir mengingat ini, karena Haris bahkan tak pulang di malam itu, karena sedang ‘rapat’ dengan selingkuhannya). Santunan dari perusahaan dan asuransi jiwa, serta tabungan pribadinya bertahun-tahun, sudah lebih dari cukup untuknya memulai  hidup baru.

Menghadapi semua ini sendirian, menguras sisa-sisa energi dan emosinya. Kesepian besar menyerbunya bagai tsunami. Ia jatuh terduduk dan setelah berhari-hari, ia akhirnya menangis.
---

Rabu malam, jalan tol.
Rendi menjaga kecepatan mobilnya. Ia berkonsentrasi pada sebuah mobil di depannya. Dasar laki-laki tak tahu diri! Sama siapa lagi kau sekarang?

Rendi punya relasi luas dan dana bagai tak terbatas. Cukup untuk membiayai obsesinya. Dengan mudah, ia tahu siapa Haris, dimana kantornya, kegiatannya, bahkan lokasi makan siangnya. Beberapa kali ia berkesempatan menyaksikan sendiri pengkhianatan Haris pada Nina. Di dalam mobil, di tempat parkir, Rendi menelpon Nina, mendengarkan keluh kesahnya, mencoba mencandainya demi mendengar sekilas tawa Nina. Rendi tak menyebutkan sepatah kata pun tentang Haris dan seorang perempuan yang sedang disaksikannya, makan malam mesra di café di seberangnya.

Malam itu, tanpa sengaja Rendi melihat mobil Haris di pintu tol. Karena tanpa rencana, Rendi tak berpikir lain, ia harus mengikuti mereka.
Di km 10, mobil sedan itu berbelok masuk ke rest area. Rendi mempercepat laju, masuk dari pintu yang berbeda, lalu berputar-putar di tempat parkir, sambil tetap mengamati buruannya. Pikirannya kalut karena marah. Ia murka melihat seorang pria tak berguna, dengan seenaknya menyakiti perasaan satu-satunya wanita yang ia cintai.

Ketika dilihatnya Haris berjalan keluar, menggandeng seorang wanita, tertawa-tawa, kemarahan Rendi akhirnya memuncak.
Ia pindahkan gigi, dan menekan pedal gas lebih dalam.

-----
(Cerpen ini dimuat di Majalah Sekar edisi 106/13 tgl 3-17 April 2013, setelah melalui proses editing)