Saturday, June 22, 2013

Asyik Masyuk Dengan Musik

Bicara tentang musik bersama saya? Waktu anda akan habis tak bersisa. Hehehe..

Musik hampir selalu ikut dalam setiap momen hidup saya. Musik yang asyik buat saya, adalah musik yang mewakili setiap momen-momen itu. Saya mengalami masa-masa ngefans berat New Kids On The Block dan Tommy Page saat SMP. Kuis favorit yang ditayangkan TVRI sekitar awal era 90-an adalah Gita Remaja alias kuis tebak lagu ala Tantowi Yahya. Hampir setiap soal saya babat habis. Andai saya bisa ikut jadi peserta, mungkin sudah jadi juara umum.

Saya bahkan pernah ditegur guru SD saya karena ketika Ujian Praktek Seni Musik kelas 6, bukannya menyanyikan lagu daerah atau lagu perjuangan, malah menyanyikan lagu Layu Sebelum Berkembang! Parah!

Masa SMA? Wow, itu masa jaya-jayanya TOP 40. Genre slow-rock merajai di era ini. More Than Words-nya Extreme jadi lagu kebangsaan. Namun selera musik saya masih random alias acak di masa-masa ini. Ababil. Abege Labil.

Masuk kuliah di Bandung, selera musik saya mulai membaik. Pengaruh terbesar adalah sahabat-sahabat saya yang sebagian besar pecinta musik. Teman-teman yang pria bahkan membentuk band angkatan, dengan kami, yang wanita, sebagai manajer, merangkap seksi konsumsi, merangkap groupies. Tugas utama saya adalah, mencarikan lirik lagu yang akan dinyanyikan. Semester pertama, kami jam session berpindah-pindah dari kos yang satu ke kos lainnya. Ketika ada acara pentas seni di kampus, kami patungan untuk bisa sewa studio latihan. Gitar jadi instrumen wajib di sela-sela belajar bersama. Karaoke jadi agenda utama saat menghabiskan malam minggu bersama. Tak peduli suara kami separah apa, yang penting happy. Apalagi karena karaokenya di Happy Puppy.

Hasilnya adalah, di semester pertama itu, nilai-nilai sebagian besar dari kami didominasi oleh huruf...C.

Apakah kami lalu membubarkan band gurem itu? Tidak. Frekuensi nongkrong kami memang berkurang, tapi sekali-kali kami masih ber-karaoke. Band juga beberapa kali berganti personil, dan masih diminta tampil di acara syukuran wisuda, karena teman-teman saya yang anak band itu sudah terlanjur populer (walau suaranya nggak bagus-bagus amat).

Musik selalu jadi bagian pergaulan kami. Kami mengerjai teman dengan mengutak-atik lagu. Kami menyatakan cinta, patah hati, kekaguman, kekecewaan, dengan lagu. Patah hati saya pertama, diwakili oleh lagu Always-nya Bon Jovi. Yang kedua, Aku Cinta Kau dan Dia-nya Ahmad Dhani. Ketika harus menginap di laboratorium untuk penelitian, sepanjang malam kami ditemani musik full-beat yang ramai ala Backstreet Boys dan N'Sync, supaya kami tidak kesepian dan mengantuk. Apalagi gedungnya lumayan seram kala sepi di tengah malam. Hiiii..

Seorang teman pernah berujar, bahwa nanti calon suaminya harus bisa bermain gitar. Lalu saya menambahkan, calon suami saya harus bisa bermain gitar dan bisa menyanyikan lagu Seputih Melati (yang dinyanyikan Dian Permana Putra).
Lalu apa yang saya dapat? Akhirnya saya dapat suami yang pemain gitar, beliau pernah ngamen semasa SMP, pernah jadi gitaris terbaik di SMA, penggemar berat The Beatles, daann... bisa menyanyikan lagu Seputih Melati! Eh, tapi lebih baik saya yang menyanyi, soalnya suara dia parah!

Suatu kali, kami berdua pernah mengunjungi pasar seni kampus saya, dan menonton penampilan sebuah band lokal yang saat itu baru populer di Bandung. Band itu menyanyikan lagu-lagu Queen dengan sangat bagus. Vokalisnya memiliki suara merdu yang melengking tinggi. Band itu juga menyanyikan sebuah lagu asli mereka, yang membuat kami ikut melompat-lompat kompak bersama penonton lainnya. Band itu di kemudian hari menjadi sangat top di Jakarta, bahkan seluruh Indonesia. Band itu adalah Seurieus. Vokalisnya Candil. Dan lagu yang membuat saya melompat-lompat di halaman kampus kala itu adalah "..daripada musik metal, lebih baik musik jazz!..". Seru!

Selera musik saya dan suami sangat berbeda. Saya penyuka jazz, dia rocker. Saya tak suka The Beatles, kecuali jika lagunya dinyanyikan orang lain. Sementara dia, Beatles-mania sejati! Tapi hobi bermain gitarnya bertemu dengan hobi saya menyanyi. Mungkin karena sadar suaranya sering 'lari-lari' tidak jelas nadanya, saya selalu didaulat untuk menyanyi setiap kali dia ingin mengulik akord gitar dari sebuah lagu.

Saya dan beberapa ibu-ibu tetangga pun pernah mengisi acara panggung agustusan, dengan suami saya sebagai gitaris, bersama tetangga lain yang juga hobi bermusik. Ibu-ibu yang lain memang suaranya merdu, kalau saya sih sepertinya hanya sekadar punya level kepercayaan diri yang kelewatan. Puncaknya, saat penampilan terakhir kami beberapa tahun lalu, mic saya mati, entah kenapa. Mungkin karena tak sanggup menanggung ke-over PD-an saya ya..

Biarkan sajalah. Yang penting, suara saya masih diterima di rumah saya sendiri. Saya masih menikmati musik setiap hari. Masih ada You Tube. Internet mati? Saya masih punya sebuah external hardisk berisi ribuan lagu berbagai era, yang masih terus bertambah karena hobi saya mengunduh lagu. Suami saya juga tetap menyukai suara saya kok.

Masih banyak cerita saya tentang musik. Namun jika diceritakan semua, sama saja menceritakan seluruh hidup saya. Ingin ditemani menikmati musik asyik? Tag me anytime!

Lomba Blog Kumpulan Emak-emak Blogger dan Langit Musik

Wednesday, June 19, 2013

Second Child : rebellion or lack of character?

Menjelang kelahiran anak yang kedua ini dalam beberapa bulan ke depan, membuat saya mulai berpikir, akan seperti apa anak yang satu ini? Sama aktifnya dengan sang kakak, atau malah lebih pecicilan (waduhh!). Atau malah lebih kalem?

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, ada hal yang unik yang hampir selalu terjadi pada anak kedua dalam keluarga (terutama jika ia juga adalah anak tengah).
Seorang teman yang memiliki 3 anak, anak keduanya yang bermasalah. Selain akademiknya yang tertinggal, karakternya juga sulit diatur dan cenderung hiperaktif. Seorang teman lainnya mengeluhkan anak keduanya yang sulit mandiri, selalu tergantung temannya, dan lebih manja.

Saya juga anak kedua, dari 4 bersaudara. Yang terjadi adalah, saya menjadi pribadi yang suka tampil beda, cenderung membangkang, pemberontak dan suka melawan tradisi. Ibu saya tipe orangtua yang tegas namun tidak pernah membatasi keinginan dan ide-ide anak-anaknya. Jadi, makin berkembanglah ide-ide 'rebellion' saya.
Dimulai dari TK yang terpaksa dipercepat, dari TK A saya langsung masuk SD, karena guru TK saya sudah 'nggak sanggup' menangani saya yang selalu mendahului mengerjakan tugas, suka iseng baca majalah yang sedang dibaca guru. Karena umur yang kurang, masuklah saya ke SD yang 'ecek-ecek'. Di sini lagi-lagi saya dominan. Dibawah bayang-bayang kakak laki-laki saya (di SD lain yang lebih populer) yang sangat aktif olahraga dan ekskul serta memiliki banyak teman, di pergaulan saya cenderung menjadi penengah. Soal olahraga? Saya nol besar!

Kompensasi saya akhirnya di akademis. Saya pacu prestasi saya setinggi mungkin. Selepas SD, saya masih mengikuti tren keluarga masuk ke SMP terbaik di Depok saat itu. Tapi ketika SMP selesai, saya menolak keras masuk SMA terbaik di Depok. Saya ingin ikut sahabat-sahabat saya yang melanjutkan ke Bogor.

Dikasih? Ya nggak lah! Selain harus naik kereta sendirian, tak familiar pula kami dengan Bogor. Akhirnya saya dan ibu tawar menawar, boleh yang jauh, asal mudah diawasi. Akhirnya, karena ibu masih dinas mengajar di daerah kalibata, pilihan kami jatuh pada SMAN 28 di Ragunan.

Saat masuk siang, saya berangkat bersama ibu ke Pasar Minggu. Ke sekolah, saya bisa naik 2-3 kali angkot/bis. Kalau masuk pagi, saya bahkan berangkat jam 5.30 untuk menghindari macet.
Saya tidak pernah mengeluh. SMA saya adalah salah satu sekolah negeri terbaik di Jakarta. Saya bertemu teman-teman yang baik dan seru. Saya bisa main ke Blok M. Saya bisa pulang malam jika ada bimbel siang hingga sore harinya. Kelas 3 SMA, saya berangkat setelah subuh dan pulang jam 9 malam.

Belakangan, saya berpikir, pasti ibu saya dulu cemas sekali ya memikirkan ulah saya, si Tukang Ngeyel ini.. :)

Sampai di situ saja? Tidak. Lulus SMA, saya menolak mendaftar ke UI, dengan alasan terlalu dekat dari rumah. Saya menolak mendaftar ke STAN, dengan alasan andai diterima pun, saya tidak akan menyukai pelajarannya (I hate Economics!). Saya ngotot mendaftar ke ITB untuk UMPTN, Teknik Kimia pula, yang ratingnya sangat tinggi saat itu.
Ibu sangat khawatir saat itu, menganggap pilihan saya terlalu berat. Untuk menyenangkan beliau, kami mencari pilihan program studi yang saya suka jika saya tidak lulus UMPTN. Ke D2 Kimia Terapan UI, ke Poltek ITB, bahkan akhirnya saya mendaftar ke AKA Bogor. Pilihan kedua UMPTN pun saya pilih UNDIP (yang ratingnya jauh dibawah, kalau UGM masih terlalu tinggi).

Ndilalah, saya diterima di AKA Bogor tanpa tes, tapi harus setor uang daftar ulang, deadlinenya sebelum pengumunan UMPTN. Ibu sudah meminta saya memutuskan, sudah menyiapkan uangnya, karena benar-benar khawatir saya tidak lolos UMPTN.

Saya melakukan aksi bisu. Saya tidak bersiap-siap ke AKA, karena memang hati saya ada di UMPTN. Tapi saya juga tidak ingin mengecewakan ibu.
Hari terakhir daftar ulang AKA, ibu lupa. Saya ingat, tapi saya diam saja. Malam harinya, ibu tiba-tiba teringat, "Mbak, bukannya hari ini harusnya daftar ulang?"
Sambil nyengir saya bilang, "Iyaahh.. Udah deh, ibu do'ain aja Rani lolos UMPTN yaa.."
Ibu menyerah.

Ada yang masih ingat hari pengumuman UMPTN?
Setelah subuh, kami deg-degan menanti tukang koran lewat. Saya tidak bisa tidur semalaman, mungkin orangtua saya juga. Ketika tukang koran datang dan menyerahkan koran berisi pengumunan UMPTN, tanpa menunggu lebih lama, digelarlah lembaran-lembaran besar itu di ruang tengah.
Mencari nama dan nomor saya.

Ketika akhirnya ketemu, akhirnya saya bisa bernafas lega. Ibu saya langsung keluar rumah membawa koran berisi nama saya yang sudah digarisbawah dan dibulatkan, karena para tetangga juga menanti kabar saya. Ibaratnya, 'bisul' kami berminggu-minggu sudah pecah... hehehe..

Apakah kemudian saya berhenti membuat ibu saya cemas? Sepertinya tidak, karena petualangan hidup saya di Bandung, jauh dari orangtua, mungkin membuat ibu saya cemas setiap harinya. Saya berterimakasih sangaaaattt pada beliau karena membiarkan saya mengambil jalan yang saya pilih, mempertanggungjawabkannya sendiri, tanpa menuntut banyak.

Sekarang, ketika saya telah menjadi ibu, mungkin ini sudah garis hidup, saya dikaruniai anak dan suami yang juga berkarakter 'keras', pemberontak, pelawan arus. Jika dulu saya dimanjakan, serba dilayani, serba diatur, serba dibantu, mungkin saya tidak akan sanggup menjalani peran saya yang sekarang.

Sekarang  saya malah gemes melihat anak yang semua tergantung pada orangtuanya, atau temannya, dan tak mampu mengambil keputusan sendiri. Dan saya harus bisa kuat membiarkan anak saya mengambil pilihannya sendiri, seabsurd apapun itu, selama jalan itu halal, tak peduli anak saya yang pertama, atau calon anak kedua di dalam rahim ini.

Jadi ingat dialog dengan Hani hampir setiap hari :
"Bun, baju yang ini dengan celana yang ini, matching nggak?"
"Ya nggak laahh.. warnanya nggak nyambung tuh.."
"Baguslah.. Hani mau pake yang ini aja.. Hani suka yang nggak matching!"

*bunda cuma bisa tepok jidat*

:)))

Cibinong, 19 Juni 2013

Tuesday, June 18, 2013

Kunjungan ke Istana Kepresidenan Bogor

Kemarin, 17 Juni 2013, kami, saya dan Hani, 'nekad' menyambangi Istana Bogor. Kenapa 'nekad'? Karena kami cuma bermodalkan informasi sekilas dari teman dan dari Republika Online, bahwa minggu ini (17-20 dan 22 Juni), Istana Bogor terbuka untuk umum. Syaratnya, berpakaian rapi, tidak membawa tas, usia 10 tahun ke atas. Nah, Hani kan belum 10 tahun sampai September nanti, dan nggak mungkin lah nggak bawa tas sama sekali.
Tapi kami tetap datang. Resikonya, jika tidak bisa masuk hari itu, paling tidak daftar untuk hari berikutnya. Toh, banyak tempat lain di Bogor yang bisa disambangi, museum misalnya.

Sampai di Bogor, maceeetttttt ceettt terutama menjelang area Kebun Raya. Demikian ramainya kah? Alhamdulillah, Hani selalu riang walau udara pengap di dalam angkot, ditambah cuaca yang mendung di Bogor.
Turun angkot, Hani sudah gatal ingin memberi makan kijang-kijang. Tapi saya bilang, "Fokus! Kita tanya dulu ke pak satpam Istana.."

Kata seorang petugas di depan pintu gerbang Istana, kami bisa masuk hari itu juga, tapi harus mendaftar dan ambil tiket dulu di kantor DPRD Kota Bogor, Jl Kapten Muslihat, persis di seberang pintu gerbang Istana. Asyiikkk..
Di halaman kantor DPRD, telah disediakan tenda tempat calon pengunjung Istana mendaftar (atau daftar ulang jika sudah daftar hari sebelumnya, karena pendaftaran sudah dibuka tanggal 10 Juni). 'Penampakan' kami cuma dilihat dari atas-bawah, rapi atau nggak, pakai sepatu atau nggak, dan karena Hani tinggi, nggak ditanya lagi umurnya berapa, langsung dikasih jempol oleh petugas di meja pendaftaran "Siipp!"
Dari meja pendaftaran, setelah mendapat tiket (g.r.a.t.i.s! :)), dan cap merah di punggung tangan kanan, kami dipersilakan menunggu giliran di tenda lainnya. Di sini, disediakan kursi cukup banyak, lokasi dekat kantin kantor, mesjid tinggal jalan ke belakang, bahkan ada tenda PMI pula.

Calon pengunjung yang berkumpul di kantor DPRD, akan dibagi-bagi menjadi rombongan-rombongan, yang akan dikawal menuju Istana sesuai jadwal. Saran saya, datanglah lebih pagi, jadi bisa ikut rombongan yang awal-awal, sekitar jam 8. Setiap jam, akan diberangkatkan rombongan baru. Tapi karena kami tiba tepat jam 11.30, kami baru bisa berangkat jam 13.00, karena tepat jam istirahat. Untungnya, kantin dan mesjid dekat.

Setelah ada instruksi dari dalam istana, rombongan kami akhirnya berangkat. Tas kami dikumpulkan dalam mobil pick-up (yang dikawal pasukan Pramuka), yang nanti bisa diambil setelah kunjungan di pintu keluar Istana. Yang boleh dibawa hanya benda berharga, seperti dompet dan ponsel.
Horeee! Kesampaian juga main ke Istana Bogor!

Di Istana, kami diajak berkeliling melewati lobby dan lorong-lorong tertentu (tidak semua area bisa dimasuki tentunya) dan diberi pengarahan oleh pasukan Paskibraka kota Bogor. Area yang dijelaskan (hanya dilihat dari lobby atau pintu yang terbuka, tidak bisa dimasuki) : ruang santai tamu negara, ruang makan keluarga presiden, ruang kerja presiden, perpustakaan presiden ; sementara beberapa ruangan yang bisa kami masuki antara lain ruang gala dinner dengan lukisan foto para presiden Indonesia sejak awal merdeka, dan ruang Garuda atau ruang pertemuan resmi presiden dengan tamu-tamu kenegaraan.

Boleh foto-foto? Hanya di halaman dan sekitarnya saja, sementara di area dalam, ketika berkeliling, dilarang untuk mengambil foto. Setelah selesai sesi keliling, disediakan juga jasa pembuatan foto langsung cetak sebesar 8R (atau 6R ya? lupa ukurannya :P). Harganya antara 25ribu - 50ribu, tergantung jumlah orang dalam foto. Tapi karena area foto yang bisa diambil juga hanya seputaran halaman istana, kebanyakan orang memutuskan untuk mengambil foto sendiri.
Hani tadinya pengen foto di atas, bareng Garuda..
Cuma sekitar serambi aja yang boleh difoto
Nggak boleh foto sama kijang, sama capung aja deehh!

Satu keinginan Hani yang belum tercapai, foto bareng para kijang! Area berkumpulnya para kijang ada di sudut taman Istana dan dijaga petugas. Kami tidak boleh mendekat.
Kijangnya jauuuhh di belakang sana

Sedangkan lokasi favorit Hani di dalam istana adalah Perpustakaan, karena bukunya banyak yang langka ("ada buku tentang Linen, bun!" ; "Lenin yang dari Rusia maksudnya?" ; "Iya itu maksudnya.." cengir Hani), dan banyak souvenir-souvenir hadiah dari tamu-tamu negara.

Di jalan keluar, menjelang pintu gerbang, kami melewati toko cinderamata (Hani beli pulpen saja), penjual minuman dan es puter (3000 rupiah saja), yang sepertinya digelar khusus untuk even ini. Jadi tidak perlu takut haus karena kelelahan setelah berkeliling.

Di berita disebutkan bahwa minimal usia pengunjung adalah 10 tahun, tapi kemarin saya perhatikan ada juga beberapa anak yang lebih kecil, seusia kelas 1-2 SD. Sepertinya, yang penting adalah anak bisa tertib, tidak rewel, berpakaian rapi (tidak harus batik) dan bersepatu tertutup.

Yang jelas, menurut saya, anak harus mau jalan cukup jauh, tidak mudah mengeluh karena pegal. Kalau kami, yang gempor malah saya, yang sedang hamil lima bulan jadi nggak bisa jalan ngebut seperti biasanya. Hani malah masih kuat pecicilan kesana-kemari, malah nggak mau langsung pulang, dan minta ke Depok untuk main ice-skating di Margocity.

Jadi, perjalanan lanjuutttt...

Friday, June 14, 2013

Cerpen : OBSESI



ilustrasi : Majalah Sekar

Sebagian besar tamu sudah pulang. Tapi tenda belum dibongkar. Bendera kuning masih berkibar. Karangan bunga di halaman masih segar.

Kakak-kakak Nina sudah kembali ke kehidupan masing-masing, ke keluarga masing-masing. Terlalu banyak kepentingan dan urusan yang mereka tinggalkan selama dua hari kemarin, demi menemani Nina, sang bungsu.

Sekarang saatnya Nina menghadapi kenyataan sendirian. Tetangga-tetangga hanya sesekali menjenguknya, mengantarkan makanan, mencucikan pakaian, membersihkan rumah. Nina tidak dibiarkan melakukan apa-apa, kecuali berkabung, berdiam di dalam kamar.

Malam Kamis lalu, tidur Nina dibangunkan oleh sebuah telepon. Tentang Haris. Suaminya mengalami kecelakaan parah di area peristirahatan km.10. Nina berburu taksi di tengah malam, menyusul ke rumah sakit, tapi terlambat. Ia tak sempat melihat suaminya hidup.

Dunia jungkir balik setelah itu. Kerabat-kerabatnya datang, mengurusi semua urusan pemakaman, karena Nina sama sekali tak mampu melakukan apa-apa. Ia hanya diam dan mengurung diri di kamar.
Diam. Bisu. Ia bahkan tak terdengar menangis. Matanya hanya berkaca-kaca nanar.
Orang berbisik, dan beberapa mengatakan bahwa ia shock berat. Beberapa menyanjung ketegarannya. Tapi tak ada yang tahu apa yang benar-benar dirasakan Nina saat ini.

Nina terduduk di lantai kamarnya, tak mempedulikan beberapa tetangganya yang sibuk di luar. Entah ada yang memasak, menyapu, atau mengobrol, Nina tak lagi peduli. Ia hanya memandangi layar telepon genggamnya yang kosong. Ia mematikannya dua hari lalu.
Betapa ia ingin memutus hubungan dengan dunia. Betapa ingin ia mengurung dirinya selamanya di kamar ini. Di dunianya sendiri.

Ia mendengar bisikan seorang tamu, bahwa ia terlalu mencintai Haris, hingga shock seperti ini. Cinta? Nina bahkan tak tahu lagi apa itu cinta.

Sampai semalam. Beberapa sahabat semasa kuliahnya datang. Entah darimana mereka mendengar berita duka ini. Nina menerima mereka dengan senyum datar. Senyum Nina hanya mengembang ketika muncul sepasang mata coklat itu di hadapannya. Mata coklat terindah sepanjang masa.
Basa-basi. Lalu lebih banyak basa-basi lagi. Nina benci basa-basi. Nina benci tatapan kasihan. 

Sebenarnya, Nina sudah begitu membenci banyak hal beberapa tahun belakangan ini.
“Telponmu mati, Nin?” tegur mata coklat itu, ketika rombongan itu mau pulang.
“Ya, aku matikan..” sahut Nina tanpa ekspresi.
“Nyalakan ya..” bisiknya lagi. Nina membaca kilat harap di dalam mata coklat itu, dan mengangguk lemah.

Dan, sekarang Nina di sini. Dalam keinginan menyalakan kembali ponselnya, dan ketakutan akan pesan-pesan yang mungkin diterimanya. Keinginannya akhirnya menang.

Ponsel Nina langsung berdecit-decit tiada henti, begitu banyak SMS masuk, pesan suara, notifikasi email, entah bunyi apa lagi. Semua Nina abaikan kecuali satu nomor. SMS dari sang pemilik mata coklat indah itu.
Thu, 10:12 AM : Nina, are you alright?
Thu, 11:20 AM : Nin, kenapa HP mati? Aku cemas, tolong kabari ya.
Thu, 08:10 PM : Nina, please. Aku harus bicara.
Fri, 12:54 AM : Nin, aku dengar dari grup tentang Haris. Turut berduka ya. Aku kesana nanti sama teman-teman.
Fri, 06:35 PM : Aku lagi di jalan ke rumahmu. Tolong balas.
Fri, 07:15 PM : Teman-teman semua sedih memikirkanmu. Terutama aku.
Fri, 08:10 PM : Nin, aku sekarang masih di ruang tamumu, sedang duduk di seberangmu. Kau kelihatan hancur. Aku tahu kau menutupinya, tapi kau tak pernah bisa membohongi aku. Kau hanya pura-pura.
Fri, 09:38 PM : Nina dear, aku pulang ya. Aku ingin tinggal menemanimu, tapi nggak enak sama teman-teman. Tolong balas smsku. Jangan diam terus. Aku sangat mencemaskanmu.
Fri, 11:50 PM : Selamat malam Nina, semoga kau baik-baik saja. Aku masih memikirkanmu.
Sat, 05:15 AM : Sudah bangun Nin? Aku masih menunggu smsmu.
Sat, 07:10 AM : Please Nin, balas. Aku mau telpon. Aku ingin bicara.

Nina menengok jam di atas meja. Sembilan pagi lewat sedikit. Jari telunjuknya mulai meningkahi touch-screen ponselnya.
‘Aku baik-baik saja. Jangan khawatir.’
Hanya lima menit setelah reply pesan itu terkirim, ponselnya berbunyi nyaring. Nina tak perlu menduga siapa yang menelpon.
“Ya, halo?”
“Ninaa! Aku bisa gila nunggu smsmu dari kemarin! Kenapa dimatikan?”
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, Ren..”
“Tidak, kau tidak baik-baik saja. Jangan bohong..”
“Rendi..”
“Nina, aku benar-benar mencemaskanmu.. Aku ke rumahmu ya?”
“Jangan!”
“Kalau gitu, kita ketemu di luar?”
“Tidak.. Aku tidak bisa, aku masih dalam masa berkabung. Aku nggak bisa pergi kemana-kemana sampai 4 bulan ke depan. Please, nggak usah telpon aku dulu ya..”
“Empat bulan???”
“Empat bulan sepuluh hari, tepatnya..”
“Nggak boleh bicara denganmu empat bulan lebih?? Aku bisa gila, Nina!”
“Itu masalahmu..”
“Aku akan tetap SMS..”
“Tidak boleh..”
“Aku tidak minta ijinmu.. Kalau kau nggak balas, aku akan telpon..”
Nina mendesah dalam, berat. “Terserah. Aku pergi dulu..”
“Nin! Tu-....” Tut. Putus.
---

Rendi membanting iPhone-nya ke atas kasur. “Siaaaallll!!!!”
Ia mengacak-acak rambutnya yang sudah kusut sejak semalam. Semalaman ia tak bisa tidur, menanti balasan SMS Nina, mencoba menelponnya, terus memikirkannya.

Terduduk ia di atas karpet empuk apartemennya. Sesenggukan. Ingin rasanya ia meledakkan semua yang ia rasakan di dadanya. Ingin ia teriakkan pada dunia, betapa ia mencintai Nina. Betapa ia mampu melakukan apapun demi Nina. Apapun.

Dunianya berubah total, ketika ia bertemu kembali dengan Nina lima tahun lalu, setelah berpisah lebih dari sepuluh tahun sebelumnya. Nina cinta pertamanya, bahkan mungkin satu-satunya cintanya, karena beberapa kali ia menjalin hubungan dengan wanita, tapi Nina tak pernah lepas dari ingatannya. Tidak juga ketika Rendi menikahi Kanya, teman kantornya.

Pernikahan itu baru berjalan dua tahun, ketika Rendi bertemu Nina kembali dalam sebuah reuni. Setahun kemudian, Rendi dan Kanya bercerai. Kini, Kanya sudah menikah lagi dengan seorang pengusaha kaya. Sementara Rendi, masih terus terperangkap dalam masa lalunya bersama Nina.
Tapi Nina tidak tahu itu.

Nina tak tahu bahwa Rendi tak pernah berhenti mencintainya, tak peduli berapa tahun mereka berpisah. Ketika Nina terlihat bahagia saat menceritakan pernikahannya, Rendi mengerti, bahwa ia hanya bisa mencintai Nina dari jauh. Jadi, ia hanya sesekali mengirimi Nina pesan pendek, atau telepon basa-basi, menanyakan kabar, walau setiap saat ia menahan keinginannya untuk bertemu Nina.

Tapi tidak lagi, ketika suatu hari, dua tahun lalu, tak sengaja ia bertemu Nina di sebuah mall di Jakarta. Nina terlihat kacau saat itu. Lalu sejak itu, mereka sering bicara, sms, atau telepon. Rendi akhirnya tahu, bahwa sepanjang pernikahannya, Nina tak pernah bahagia. Haris bukanlah laki-laki sopan dan baik hati seperti yang dikenalnya sebelum menikah. Nina merasa Haris tak pernah benar-benar mencintainya, dan hanya menikahinya demi status sosialnya.

Dari Nina, Rendi tahu bahwa Haris punya perempuan simpanan dimana-mana, berganti-ganti. Nina bertahan demi nama baik keluarga besarnya.
“Nina, kau nggak bisa begini terus..” kata Rendi suatu kali di salah satu telepon-telepon mereka, ketika Haris sedang ‘tugas’ keluar kota.
“Ren, aku tak mungkin minta cerai.. Keluarga Haris itu keluarga priyayi, dan yang mereka tahu, Haris itu anak sempurna. Aku yang akan jadi kambing hitamnya..” kilah Nina.
“Kau pengecut..”
Nina terdiam, membuat Rendi merasa bersalah.
“Maaf Nin.. Tapi aku nggak bisa membiarkan kamu seperti ini..”
“Aku tahu, kau memang temanku yang baik.. Makasih ya sudah mau mendengarkanku..”

Glek. Saat itu Rendi sadar, Nina tak pernah menganggapnya lebih dari sekedar teman. Ia juga sadar, ialah yang sebenarnya pengecut, karena tak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada Nina. Tidak dulu di kampus, tidak juga saat ini.

Tapi itu tak menghentikan obsesinya pada Nina. Untuk memilikinya. Untuk melindunginya. Tidak dulu. Tidak sekarang. Terutama sekarang, setelah Nina akhirnya ‘bebas’ dari Haris.
Masih dengan muka lusuh dan hati remuk, Rendi keluar, menuju parkir, dimana CRV hitamnya menanti. Ia melirik sedikit baret di bemper depan, dan mengernyit. Aku harus membawanya ke bengkel besok. Ke salon mobil nggak cukup ternyata.
---

“Kami masih melacak pelaku tabrak larinya, Bu Nina. Tapi sudah ada petunjuk dari rekaman CCTV di area parkir. Kami harap ibu bersabar.”
Polwan itu bicara panjang lebar pada Nina. Ia hanya menanggapi seperlunya, tanpa ekspresi. Tak mempedulikan fakta-fakta mengejutkan yang disampaikan pihak polisi kepadanya. Hatinya sudah terlanjur kosong.

Polisi bilang, di malam itu, Haris sedang berada di rest area, bersama seorang wanita. Mereka baru keluar dari mobil, hendak menyeberang, ketika ada mobil lain yang menabrak mereka. Malam itu tempat parkir yang gelap begitu sepi. Tak ada saksi mata. Tapi polisi sudah mendapat petunjuk tentang mobil pelaku tabrak lari itu.

Nina tak merasakan apa-apa ketika polisi menyebutkan nama dan menunjukkan foto seorang wanita. Ia tidak mengenalnya. Katanya, wanita itu masih dirawat di rumah sakit karena luka dan shock. Nina tidak peduli. Selama bertahun-tahun bersama Haris, begitu banyak wajah lain, begitu banyak nama. Sudah lama Nina tak peduli.

Setelah polisi pergi, Nina kembali mengurung diri di kamar. Ponsel dinyalakan. Lagi-lagi, ada beberapa sms dari Rendi. Ingin sekali ia membalas semuanya. Rendi telah membantu luka hatinya dua tahun terakhir ini, hanya dengan bicara. Bicara dengan Rendi telah menjadi kebutuhan rutinnya. Obat penenangnya. Nina pun tahu, ada yang berbeda dari perhatian Rendi, entah apa, tapi Nina menikmati setiap obrolan mereka di telepon, seremeh apapun. Ada yang bergelitik aneh dalam perutnya, ketika mendengar tawa renyah Rendi, menyimak lembut kata-katanya. Walau hanya bertemu Rendi beberapa kali, setiap menemukan mata coklat Rendi, ada yang mengiris di dalam dadanya. Nana tahu, walau tak pernah mengungkapkannya terus terang, Rendi merasakan hal yang sama.

Tapi kali ini ada hal lain yang harus ia lakukan. Tidak ada hubungannya dengan Rendi. Dipilihnya sebuah nomor. Pemilik nomor itu belum tahu tentang kepergian Haris. Pemilik nomor itu adalah pengacaranya. Ia mengetik beberapa baris, dan mengirim.

Tak sampai setengah jam kemudian, ponselnya bergetar. Pengacaranya menelpon.
“Ya pak.. Ya, kejadiannya malam Kamis kemarin, maaf saya baru sempat mengabari, di rumah repot sekali.. Jadi berkasnya nggak usah dibuat pak, saya tak perlu lagi.. Ya, saya tahu… Tidak apa-apa, saya akan tetap bayar.. Berapa? Kan kita baru dua kali pertemuan.. Oh begitu? Baik.. Tolong sms saya no rekeningnya.. Tagihan difax saja ya.. Baik.. Baik.. Terimakasih banyak Pak.. Selamat sore..”
Tut.

Nina menarik nafas dalam. Berat. Terlalu banyak urusan yang harus diselesaikannya . Surat-surat, tagihan, kontak agen asuransi, kantor Haris, belum lagi tamu yang sesekali masih datang. Menelpon pengacara perceraiannya adalah urusan terakhir hari ini.

Ya, Nina sudah berencana untuk menggugat cerai Haris. Ia baru sampai tahap konsultasi dengan pengacara dan persiapan surat gugatan. Haris bahkan belum tahu. Sekarang, semua itu tak perlu.

Dulu ia pikir, jika ia tak lagi bersama Haris, ia akan merasa tenang. Lega. Tapi ketika ini benar-benar terjadi, bukan itu yang ia rasakan. Saat mengurusi semuanya sendirian, ia menghadapi kenyatan bahwa perhatian keluarga besar Haris hanya sebatas pengurusan pemakaman dan harta warisan. Simpati mereka pada Nina sebagai istri Haris, hanya basa basi. Nina tak mempermasalahkan soal harta peninggalan Haris. Semua asset atas nama Haris, Nina berikan pada ibu mertuanya. Nina hanya akan mengambil rumah ini, satu-satunya yang beratasnamakan Nina dari beberapa rumah yang dimiliki Haris, dan sebuah mobil sedan hadiah ulangtahun dari Haris dua tahun lalu (Nina tertawa getir mengingat ini, karena Haris bahkan tak pulang di malam itu, karena sedang ‘rapat’ dengan selingkuhannya). Santunan dari perusahaan dan asuransi jiwa, serta tabungan pribadinya bertahun-tahun, sudah lebih dari cukup untuknya memulai  hidup baru.

Menghadapi semua ini sendirian, menguras sisa-sisa energi dan emosinya. Kesepian besar menyerbunya bagai tsunami. Ia jatuh terduduk dan setelah berhari-hari, ia akhirnya menangis.
---

Rabu malam, jalan tol.
Rendi menjaga kecepatan mobilnya. Ia berkonsentrasi pada sebuah mobil di depannya. Dasar laki-laki tak tahu diri! Sama siapa lagi kau sekarang?

Rendi punya relasi luas dan dana bagai tak terbatas. Cukup untuk membiayai obsesinya. Dengan mudah, ia tahu siapa Haris, dimana kantornya, kegiatannya, bahkan lokasi makan siangnya. Beberapa kali ia berkesempatan menyaksikan sendiri pengkhianatan Haris pada Nina. Di dalam mobil, di tempat parkir, Rendi menelpon Nina, mendengarkan keluh kesahnya, mencoba mencandainya demi mendengar sekilas tawa Nina. Rendi tak menyebutkan sepatah kata pun tentang Haris dan seorang perempuan yang sedang disaksikannya, makan malam mesra di café di seberangnya.

Malam itu, tanpa sengaja Rendi melihat mobil Haris di pintu tol. Karena tanpa rencana, Rendi tak berpikir lain, ia harus mengikuti mereka.
Di km 10, mobil sedan itu berbelok masuk ke rest area. Rendi mempercepat laju, masuk dari pintu yang berbeda, lalu berputar-putar di tempat parkir, sambil tetap mengamati buruannya. Pikirannya kalut karena marah. Ia murka melihat seorang pria tak berguna, dengan seenaknya menyakiti perasaan satu-satunya wanita yang ia cintai.

Ketika dilihatnya Haris berjalan keluar, menggandeng seorang wanita, tertawa-tawa, kemarahan Rendi akhirnya memuncak.
Ia pindahkan gigi, dan menekan pedal gas lebih dalam.

-----
(Cerpen ini dimuat di Majalah Sekar edisi 106/13 tgl 3-17 April 2013, setelah melalui proses editing)

Monday, June 10, 2013

Flash Fiction : Something In Common

"We could have made a perfect couple dear.."
"Why?"
"Because we have so many things in common.." rajukku.

Kau mengambil dua pak mainan puzzle dari rak. Keduanya bergambar sama persis. Princess. Karakter favorit anak-anak kami. Kedua anak yang berusia sebaya itu sedang asyik memilih buku di rak seberang. Yang keriting berpita anakmu, yang kuncir kuda anakku.

Kau tunjukkan kedua bungkus puzzle itu dengan ekspresi kesabaran yang selalu memukauku.
"Anggap saja, masing-masing kita adalah potongan puzzle yang ada di sudut. Aku yang ini, kau yang itu.."
"So?"
"Kita sama persis, potongannya sama, warnanya sama, bentuknya persis sama. Tapi apakah kita cocok dipasangkan satu sama lain? Tidak. Kita berada dalam 2 pak puzzle yang berbeda. Betapapun banyaknya persamaan diantara kita, kita ada dalam dunia yang berbeda. Understand?"
"But why is it so? Karena kita beda suku?"
Kau menggeleng. "Bukan cuma itu.. Sekarang keluarkan KTPmu.."
Aku menurut.
Kau menunjuk-nunjuk kartu plastik yang aku pegang.
"This, dear! Ini persamaan terbesar kita! Kita takkan pernah bisa bersatu, selama masih tercetak hal sama di kartu ini : LAKI-LAKI!"

---------
sumber gambar :depositphotos.com

Friday, June 7, 2013

By the time the baby is born..

Sudah sejak lama sebenarnya, Hani, yang September tahun ini akan berusia 10 tahun, menyadari bahwa dirinya bukan lagi anak-anak. Mulai dari bacaan komik tentang Pubertas, bahasan di pembinaan sains tentang perkembangbiakan manusia, hingga gaya pertemanannya, terutama melihat beberapa teman-temannya yang notabene 'tubuhnya' lebih dewasa dibanding dirinya.

Karena pada dasarnya ia adalah anak yang serba ingin tahu, maka tercecarlah dari bibirnya pertanyaan-pertanyaan yang semakin 'sulit'. Tentang perubahan anatomi tubuh, tentang perubahan hormon, persiapannya jika suatu hari nanti ia akhirnya mendapat haid, dan banyak lagi. Pada dasarnya, ia menyebut dirinya 'pra-puber' atau 'pra-remaja'.

Masalahnya, emaknya yang imut ini, juga masih 'remaja' (*bletaakkkk!!*).. Mau nggak mau, walau tetap dengan tampang dan jiwa muda (huhuyyy!), pikiranku harus semakin dewasa, harus makin rajin mencari ilmu, harus makin sabar dan bijaksana (duh), karena memang sudah tiba waktunya.. *malah telatt tauuu...*

Di kala diri ini masih tergagap-gagap menghadapi kenyataan punya anak menjelang ABG, tiba-tiba tanpa direncanakan, hadirlah calon adik Hani di dalam rahim emak imut ini.. (teuteuuup). Apa ini berarti aku sudah siap? Pastinya.. Kalau Yang Maha Kuasa sudah menentukan demikian, ya jalani saja..

Keraguan-keraguan yang hadir di awal kehamilan, makin lama makin pudar. Kehamilan yang satu ini sama sekali tidak menyulitkan. Aku tetap aktif, sehat, nggak manja. Pertumbuhan janin sangat baik, walau tubuhku tetap langsing semampai (maap kalo banyak temen yang sirik.. hihihi).
Tapi kadang masih saja berkelebatan rasa gundah dan gelisah yang datang tanpa peringatan, lalu pergi tanpa say goodbye.. Datang tak diundang, pulang tak diantar.. *JailangkungModeON*

Lalu masalahnya apalagi?
Masalahnya, aku sadar, Hani, yang akan menjadi si sulung, akan menghadapi fase transisi yang kritis, dari berlalunya masa kanak-kanaknya, menuju keremajaannya. Dan aku juga sadar, itu bukan fase yang mudah. Menghadapi remaja masa kini nggak sama dengan jaman ABGku dulu.. jauuuhh..
Sekarang, tantangannya jauh lebih banyak.
Dan, rasanya, modalku sebagai pendampingnya, masih sangat jauh dari cukup..

Bersamaan dengan itu, aku juga akan kembali menjadi mom of new born baby, yang sudah dipastikan dan dibuktikan, akan sangat menguras energi dan emosi. Apalagi, jika prediksi banyak orang adalah benar (melihat kesuperaktifanku selama hamil), bahwa adik baru ini adalah laki-laki, aku butuh ilmu baru! I have zero knowledge of raising a boy!

Jadi janganlah heran, jika dalam beberapa tahun ke depan, aku akan tetap langsing semampai, walau selera makanku sungguh aduhai..

Because, by the time the baby is born, and couple years ahead, I will face two critical phase of being a mom.. Raising a teenager, and also a toddler.. So help me, God..

“La Hawla Wa La Quwwata illa Billah”
There is no power and strength except with Allah Subhanahu wa Ta’ala..

7 Juni 2013
Bunda yang resah dan gelisah.. menunggu di sini.. di sudut sekolah... tempat yang kau janjikan..
*udah wooyy udaahh.. malah nyanyi..*

Tuesday, June 4, 2013

Krim Serbaguna Buat Si Malas Dandan

Saya seorang ibu rumah tangga berusia 36 tahun. Ahli kulit manapun akan menyarankan perawatan yang ekstra untuk kulit di usia ini. Untungnya, saya bukanlah orang yang suka dandan dengan make-up lengkap dan tebal. Kosmetik andalan saya hanya bedak padat non-foundation dan lipstik warna natural. Tapi saya sangat suka merawat kulit wajah dengan pelembab, serum serta masker mingguan. Untungnya lagi, kulit saya bukanlah kulit yang sensitif, jadi sangat jarang bermasalah saat mencoba krim perawatan baru.

Bukan sekedar tidak suka dandan, pada dasarnya saya memang tidak pandai berdandan dengan make-up. Beberapa kali ikut make-up class pun tidak mampu membuat saya pandai apalagi menyukai dandan. Kenapa? Buat saya, dandan itu menghabiskan waktu. Saya orang yang aktif, suka bergerak cepat dan tidak suka duduk diam menunggu, persis seperti suami saya. Selain itu, saya jauh lebih suka melihat kulit wajah saya bersinar alami seperti apa adanya, dengan make-up tipis dan natural. Satu lagi, saya tidak suka ritual membersihkan make-up lengkap, yang juga menghabiskan waktu.

Itu sebabnya, ketika BB Cream mulai hadir di Indonesia, saya sudah mengamati dan mengikuti review-reviewnya. Pengalaman saya membeli produk perawatan kulit tanpa mempelajarinya dulu, membuat produk itu akhirnya cuma tergeletak di lemari karena hasilnya ternyata tidak memuaskan. Saya kini lebih selektif dalam membeli produk perawatan kulit.

The Body Shop adalah salah satu merek favorit saya. Beberapa kali saya memakai produk Body Shop, hasilnya selalu memuaskan dan saya pakai sampai habis. Mulai dari bedak, lipstik, pembersih wajah, pelembab, masker (masker Tea Tree-nya adalah favorit saya!), sabun, sampai face spray. Itu sebabnya, ketika Moisture White Shiso BB Serum Inside dari Body Shop dirilis, saya sudah tertarik. Produk ini, selain berfungsi sebagai pelembab, alas bedak, melindungi dari sinar UV, pencerah kulit, juga mengandung serum yang merawat kulit. Jadi saya bisa sekaligus melakukan perawatan kulit, sambil mengenakan make-up dengan mudah, dan tetap terlihat alami. Make up sekaligus skin-care, pasti cocok buat saya yang suka merawat wajah tapi malas dandan ini.


Pertama kali saya pakai, Moisture White Shiso BB Serum Inside ini terkesan seperti alas bedak biasa, yang warnanya lebih putih daripada kulit saya. Namun setelah pemakaian yang tipis dan merata, wajah tidak terlihat seperti mengenakan alas bedak yang salah warna (apalagi seperti bertopeng) karena warna krim langsung menyesuaikan dengan warna kulit wajah saya. Wajah saya seketika terasa lebih halus dan lembab, terlihat lebih cerah, tidak mengkilap, dan warna kulit juga lebih merata. Kalau tidak perlu keluar rumah lama-lama, saya pun tidak mengenakan bedak, cukup
Moisture White Shiso BB Serum Inside saja.


Saya nyaman sekali mengenakan krim ini. Tidak seperti alas bedak biasa, krim ini ringan dan menyerap dengan sempurna. Tidak ada jejak bekas alas bedak di kerudung saya, bahkan tidak ada yang luntur saat saya berkeringat. Ketika membersihkan wajah di sore hari pun, tidak ada bekas alas bedak yang berlebihan, wajah tetap terasa lembut dan terlihat lebih cerah.

Belum dua minggu saya menggunakan Moisture White Shiso BB Serum Inside, tapi saya sudah jatuh cinta. Seperti produk-produk sebelumnya, The Body Shop, sekali lagi, tidak mengecewakan saya.

Berminat juga dengan krim spesial ini? Ke gerai Body Shop aja, atau beli online di http://www.thebodyshop.co.id/product/43616/M-WHITE-SHISO-BB-SERUM-INSIDE.