Wednesday, February 27, 2013

Percobaan Sains Hani 1 : Kerang Hancur

Salah satu aktivitas favorit Hani di waktu senggangnya adalah melakukan eksperimen sains. Bahan materinya banyak, dari Komik Sains Kuark, buku-buku eksperimen, terutama tulisannya pak Muzi Marpaung dari Rumah Sains Ilma. Beberapa kali saya juga membelikannya sains mini kit keluaran Rumah Sains Ilma, yang saya beli di TM Bookstore Depok Town Square.

Salah satu eksperimen yang kami praktekkan, adalah Percobaan Kerang Hancur. Kitnya saya beli di TM Bookstore, tapi bahannya sebenarnya mudah didapatkan di rumah. Kalau pernah main ke pantai dan suka mengumpulkan kulit kerang,  atau punya souvenir kulit kerang (yang masih asli, belum difinishing), bisa nih dipakai.

Bahan :
- kulit kerang kecil 2 buah
- bubuk asam sitrat (dijual di toko kimia dan di toko bahan kue), kira-kira 1 sdt
- gelas plastik kecil 2 buah
- air
- tali/benang dan potongan sedotan/stik

Tahap percobaan :
Ke dalam kedua gelas, masukkan air kira-kira hingga 3/4 tinggi gelas. Masukkan asam sitrat ke dalam salahsatu gelas. Ikat kerang dengan tali, ujungnya ikatkan ke batang sedotan. Lalu letakkan batang sedotan di bibir gelas, sehingga kerang terendam dalam air.

kanan: larutan asam sitrat ; kiri: air biasa
Lalu biarkan kedua gelas, dan amati setiap 15-30 menit (bisa disambi main, baca, makan, dll). Perhatikan perubahan yang terjadi.


Setelah kira-kira 30 menit hingga 1 jam, muncul gelembung udara dalam gelas yang berisi larutan asam sitrat, sementara dalam gelas yang hanya berisi air tidak terjadi perubahan apapun. Amati terus, akan terlihat bahwa gelembung yang terbentuk semakin banyak.

Setelah kira-kira 3 jam, kerang yang berada dalam larutan asam sitrat akan tampak seperti di bawah ini :


Kerangnya semakin tipis dan berlubang-lubang. Biarkan saja, sambil sekali-sekali diamati. Akan terlihat bahwa ukuran kerang semakin lama semakin kecil, dan setelah kira-kira 6 jam sejak awal percobaan, yang terjadi adalah :

Kerangnya hilang!! Alias habis! Raib!

Kenapa bisa begitu?
Penjelasannya adalah : Kulit kerang terbuat dari zat kapur, yang akan bereaksi dengan larutan asam sitrat. Reaksi ini akan melepaskan gas karbondioksida (yang terlihat berupa gelembung-gelembung udara).

Penerapan hasil percobaan ini dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, untuk menjelaskan pentingnya menyikat gigi pada anak-anak. Gigi kita juga tersusun dari zat kapur, yang bisa keropos karena adanya zat-zat dalam makanan (yang biasanya bersifat asam), karena itu harus rajin disikat setiap hari.
Atau mengenai fenomena hujan asam. Polusi udara yang semakin parah dalam menyebabkan terbentuknya zat asam di udara, yang larut dalam air, dan menimbulkan hujan asam yang sangat berbahaya karena dapat merusak alam dan benda-benda di bumi.

Eksperimen yang sederhana kan?

Masih banyak eksperimen sains sederhana lainnya. Kapan-kapan saya share lagi ya..!

Wednesday, February 13, 2013

Calistung? Siapa Takut? (bagian 2)



Calistung, menurut saya memang bisa diajarkan sejak anak usia dini, atau bahkan sejak mereka bayi. Keuntungan mengajarkan mereka sejak awal adalah waktu yang panjang sehingga memungkinkan untuk diajarkan secara bertahap, dan akan menjadi pembiasaan. Tapi bukan dengan cara langsung mengajarkan mereka membaca tulisan, menuliskan huruf, atau berhitung. Bukan dengan menetapkan target, misalnya dalam sehari harus bisa hapal 5 huruf, berikutnya 5 kata, dst. Bukan dengan cara memaksa anak belajar. 

Tapi dengan cara menyediakan waktu untuk bermain dengan anak-anak, dan menyelipkan pengenalan calistung secara bertahap dalam setiap permainan. Prinsipnya adalah untuk membuat anak menyukai prosesnya, mencintai ilmu, dan memancing kreativitas anak.

Beberapa orangtua memilih untuk memberikan beragam mainan edukatif kepada anak-anak. Mainan huruf, angka, bentuk, misalnya. Cara ini baik, tapi hanya akan efektif jika orangtuanya juga menunjukkan antusiasme yang sama dalam bermain bersama. Mainan edukatif hanyalah media, tapi tetap proses bermainnya yang akan memberi pengaruh. Misalnya, ketika mengenalkan huruf dengan mainan edukatif, anak dibiarkan bermain sendiri, atau hanya sekali-kali ditemani, atau ditemani namun orangtua tidak antusias bermain, ya anak pun akan bosan sendiri dengan mainannya. 

Memberi contoh (teladan) juga bagian yang penting dalam mengenalkan calistung pada anak. Bagaimana anak akan mencintai buku dan mau mulai belajar membaca, jika orangtuanya tidak suka membaca, dan lebih memilih jalan-jalan ke mal daripada ke toko buku? Bagaimana anak mau belajar berhitung, jika untuk hitungan sederhana saja, orangtua pakai kalkulator?

Bagaimana memulai mengajarkan anak calistung sejak dini? 

Membaca


-          Budayakan cinta baca dan cinta buku di rumah. Dengan melihat orangtua yang suka membaca, anak-anak usia berapapun akan tertarik untuk ikut membaca

-          Alihkan anggaran untuk membeli mainan mahal atau baju-baju bermerek, atau barang-barang konsumtif lainnya, untuk membeli buku. Beli buku sesuai usia anak. Tidak perlu yang terlalu mahal, banyak juga buku-buku bagus dengan harga murah.

-          Ajak anak membuka-buka bukunya dengan antusias. Biarkan anak bertanya apapun tentang isi bukunya.

-          Bacakan cerita (bisa dimulai sejak bayi) sebelum tidur, saat santai, atau kapanpun anak mau.

-          Bermain cari huruf. Ketika anak sudah mulai mengenal satu dua huruf, ajak ia menemukan hurufnya di buku, tembok, jalan, dapur, dimanapun. Beri pujian ketika ia berhasil.

-          Ajak ia merawat dan menjaga buku-buku miliknya selayaknya barang berharga.

-          Buat simbol-simbol huruf dengan mainannya, menggunakan playdough, barisan boneka, mobil-mobilan, kelereng, bekas stik es krim, atau media apapun.

-          Kurangi nonton TV, ganti dengan membaca dan bercerita. VCD edukatif juga bagus, selama didampingi dan dibimbing orangtua.

-          Kurangi ekspos lagu-lagu anak yang kurang mendidik, ganti dengan nursery rhymes


Menulis


-          Menulis adalah keterampilan motorik halus, yang berarti berkembang secara bertahap. Jika anak tak pernah melatih motorik halusnya, ia juga akan kesulitan saat mulai menulis.

-          Keterampilan motorik halus bisa mulai dilatih tanpa harus belajar menulis. Beberapa permainan yang melatih motorik halus : merobek-robek kertas koran bekas, menggulung koran bekas menjadi pedang-pedangan, origami (melipat kertas), meronce, bermain playdough, dan masih banyak lagi.

-          Biarkan ia mulai memegang alat tulis pada usia berapapun. Beri ia kertas gambar yang besar, crayon atau spidol yang aman. Biarkan ia membuat coretan sesukanya, tapi tetap awasi agar keamanannya terjaga.

-          Latihan mewarnai juga bagus untuk melatih konsentrasi dan mengikuti aturan, tapi biarkan juga ia menggambar sesukanya.

-          Latihan menulis bisa juga menggunakan buku-buku latihan menulis (banyak di toko buku), tapi bisa juga dibuat sendiri di rumah. Ajak anak membuat barisan garis-garis pendek (latihan huruf I), lalu bulat-bulat (latihan huruf O), atau bentuk bulan sabit (latihan huruf C dan bentuk sejenis).

-          Karena ini keterampilan motorik, maka semakin sering ia melakukannya, ia akan semakin lancar. Jangan takut kehabisan kertas dan spidol, jangan takut rumah kotor.

Berhitung

-          Orangtua harus menyadari bahwa berhitung hanyalah bagian dari matematika. Masih banyak hal lain yang sama pentingnya dalam matematika, seperti logika dan problem solving.

-          Mengenalkan angka bisa dimulai di usia berapapun. Biarkan ia melihat simbol-simbol angka di rumah, di buku, majalah, brosur, dll. Tunjukkan benda nyata dengan jumlah tertentu, sambil berinteraksi sehari-hari, misalnya “Kamu mau satu roti atau dua roti?”

-          Daripada mendengarkan lagu-lagu anak yang tak jelas pesannya, ajak ia mendengarkan dan bernyanyi (bersama orangtua), lagu-lagu nursery rhyme yang mengenalkan tentang angka.

-          Gunakan media buku dan cerita untuk mengenalkan matematika. Sekarang banyak sekali buku-buku aktivitas untuk latihan berhitung atau buku cerita yang berhubungan dengan matematika.

-          Jangan memaksa anak mengerjakan suatu hitungan jika ia rewel. Jangan sampai keluar kata-kata, “Ah, kamu begini aja masa nggak bisa..”


Masih banyak cara-cara lain yang bisa digunakan orangtua atau guru, tapi pada dasarnya, anak harus mencintai prosesnya. Proses harus berlangsung menyenangkan agar ia antusias setiap kali diajak ‘belajar’. Lakukan dengan senang hati (bukan terpaksa demi mengejar prestasi anak misalnya). Ingat, antusiasme itu menular. 

Berdasarkan pengamatan saya, anak-anak yang mendapat stimulasi seperti contoh-contoh diatas, tidak akan mengalami kesulitan berarti ketika di TK B mulai diajarkan calistung, atau ketika awal SD. Kalau dilakukan secara konsisten sampai ia besar, bonusnya adalah kecintaan akan membaca, mencari ilmu dan keberanian berkreasi dan berekspresi.

So, mengajarkan Calistung pada anak? Jangan ragu, ayo mulai sekarang!

Calistung? Siapa Takut? (bagian 1)



Awal tahun, selalu terjadi keresahan yang sama diantara para orangtua, terutama yang memiliki anak usia 5-6 tahun. Sudah siapkah untuk masuk Sekolah Dasar? Bagaimana tes masuknya? Ada tes calistung nggak?

Dilema yang dihadapi para orangtua (juga sekolah, sebenarnya) adalah adanya tes calistung (Baca Tulis Hitung) sebagai bagian dari tes masuk SD, di beberapa sekolah dasar, sementara kemampuan anak untuk membaca saja mungkin belum memadai, apalagi jika di TKnya tidak diajarkan calistung secara khusus.

Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah no 17 tahun 2010, tidak ada pembelajaran calistung khusus di PAUD, dan tidak boleh ada Tes Calistung sebagai tes masuk Sekolah Dasar. Berikut kutipannya :

Pasal 66 tentang Program Pembelajaran PAUD
Program  pembelajaran  TK,  RA,  dan  bentuk  lain yang             sederajat    dilaksanakan    dalam    konteks bermain yang dapat dikelompokan menjadi:
a.    bermain dalam rangka pembelajaran agama dan akhlak mulia;
b.    bermain dalam rangka pembelajaran sosial dan kepribadian;

c.    bermain  dalam  rangka pembelajaran  orientasi dan pengenalan pengetahuan dan teknologi;
d.  bermain  dalam  rangka  pembelajaran  estetika;
dan

e.    bermain  dalam  rangka  pembelajaran  jasmani, olahraga, dan kesehatan.

Juga ini :
Pasal 69 tentang Penerimaan Peserta Didik, ayat (5) :
Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil  tes   kemampuan   membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain.

Baca juga ini :
http://www.paudni.kemdikbud.go.id/asal-tanpa-paksaan-anak-tk-boleh-diajari-calistung/
http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/15/polemik-calistung-di-tk-371622.html
--
Lalu bagaimana dengan sekolah-sekolah yang ada sekarang ini? Mau dituntut? Di demo karena menyelenggarakan tes Calistung untuk tes masuk? Ya, mungkin seharusnya begitu. Tapi saya yakin, akan ada lebih banyak orangtua yang memilih mengajarkan anaknya calistung supaya lulus tes, daripada menghabiskan waktu dan tenaga untuk menuntut sistem pendidikan lokal, yang hanya akan ditanggapi sinis oleh pihak sekolah yang dimaksud dan bahkan orangtua lain.
“Kalau emang anaknya nggak bisa calistung, nggak usah cerewet! Gitu aja kok pusing?”

Lalu apa yang bisa kita lakukan SEKARANG sebagai orangtua?

Mencari TK yang mengajarkan calistung? Mungkin, tapi harus dilihat bagaimana system penyampaian materinya. Metode pembelajaran yang akan membuat anak TK bosan dan mogok belajar (bisa berlanjut hingga ia SD), adalah belajar dengan worksheet, mengerjakan soal, drilling (mengerjakan materi yang sama secara berulang2), apalagi ditambah PR dan target nilai.
TK itu seharusnya full bermain. Jika guru TKnya cerdas, bisa kok memasukkan pengenalan huruf, angka, dasar-dasar calistung, dengan cara bermain yang menyenangkan.

Mencari SD yang tidak melaksanakan tes Calistung? Ini cara yang paling cepat dan mudah menurut saya. Masih ada kok sekolah-sekolah (baik negeri atau swasta) yang menjalankan PP 10/2010 dengan benar. Tapi ini berarti, orangtua harus lebih rajin survey dan mempelajari beberapa sekolah dasar di sekitar lingkungan tempat tinggal. Selain tentang tes masuk, yang harus diperhatikan di sekolah yang disurvey adalah bagaimana penanganan anak-anak yang tertinggal kemampuan calistungnya di kelas. Apakah gurunya ramah dan bersedia memberi bimbingan lebih di kelas? Apakah anak akan dipaksa mengikuti kecepatan belajar teman-temannya? Atau anak malah stress karena merasa tertinggal dan dicap bodoh?

Ada cara yang lebih baik, dan tentu saja menyenangkan, dear moms..
Yaitu, ajarkan mereka calistung sejak mereka usia setahun atau malah masih bayi!
Memangnya bisa?

Banyak kontroversial tentang ini juga, memang. Banyak metode dan bahan pengajaran membaca untuk bayi yang dijual di toko-toko buku. Tapi bukan ini yang saya maksud. Metode pengajaran calistung yang saya gunakan tidak butuh buku khusus, atau kartu baca metode tertentu, dan bisa dilaksanakan oleh siapa saja, tidak perlu training khusus.
Modal utamanya hanya : Cinta dan Waktu.

Moms mau coba? Cek di artikel berikutnya ya..

Monday, February 4, 2013

Lebih susah mana?

Setiap teman yang aku tanya, "Lebih susah mana, ngajar anak sendiri atau anak orang lain?", pasti akan menjawab, "Lebih susah ngajar anak sendiri lah!". Alasannya macam-macam, tapi pada dasarnya, ketika mengajar anak sendiri, ada ekspetasi lebih dari dalam diri setiap orangtua. Saat membantu anak belajar, ada harapan dalam diri orangtua, 'anak saya harus bisa..' . Sementara ketika mengajarkan anak orang lain, kita sekedar mengajarkan, memberitahu, masalah anak itu mengerti atau tidak? 'Yaa biarin aja, bukan anak kita ini..' Hayo, bener nggak mom? Ngaku! Hihihihi..

Karena ekspetasi yang lebih saat mengajarkan anak, atau membantu anak belajar, kita sering beranggapan begini : 'Ibunya aja bisa, masa anaknya nggak bisa..', 'Bapakmu kan insinyur, berarti kamu juga harus pinter..'

Akhirnya, ketika ternyata anak tidak memenuhi harapan itu, misalnya karena sulit mengerti penjelasan orangtua, kita malah kesal, 'Kamu gimana siihh?? Masa gini aja nggak bisaa??'.. Bener nggak? Hayo ngaku lagi!

Padahal ternyata, ketika 'kata-kata hujatan' itu keluar, yang terjadi adalah, anak semakin turun mood belajarnya, dan akhirnya otaknya akan semakin sulit untuk menerima informasi apapun. Jadi, kalo dimarahin begitu, anak akan tambah pinter nggak? Jelas nggak!

Saya mengalaminya sendiri. Dulu saya juga masih begitu. Akibatnya, seperti bara menyala yang disiram bensin, makin panas! Anak saya semakin nggak paham isi pelajarannya, dan saya semakin kesal, terus begitu seperti lingkaran setan. Makanya banyak teman di FB yang setiap kali anak UTS, selalu pasang status : 'siap-siap perang urat', 'perang dunia deh!', 'anak yang UTS, emak yang stres!'...

Lalu apa yang membuat saya sadar? Selain baca info dari teman-teman yang lebih pintar, yang benar-benar menjadi wake-up call buat saya adalah, ketika saya akhirnya menjual jasa saya untuk mengajarkan anak orang lain.

Dari beberapa anak yang pernah saya tangani, tak ada yang karakternya sama seperti anak saya. They're totally different! Setiap saat saya harus putar otak, karena karakter yang berbeda, berarti metode mengajarnya juga harus berbeda.

Pernah anak seorang anak, yang saya yakini cerdas dan daya tangkapnya tinggi, selalu minta ditemani ibunya ketika belajar. Sementara adiknya yang masih PG (yang super aktif, beda banget dengan kakaknya yang pemalu) pun harus dibawa kemana-mana, karena tidak ada ART. Akhirnya beberapa kali pelajaran matematika pun harus disampaikan dalam bentuk game, yang pesertanya adalah.... kakak dan adiknya itu!


Ada lagi seorang anak, yang terkenal sangat percaya diri, cerewet, dan semangat belajarnya tinggi, ternyata setelah beberapa sesi bersama saya, bisa tiba-tiba drop semangatnya ketika menghadapi soal yang lebih sulit atau mendapat tantangan baru. Sering saya dapati ia tahu-tahu melamun di tengah mengerjakan tugas soal dari saya. Nah lho?


Sementara anak yang lain lagi, yang menurut saya juga pintar (pintar banget malah), tidak bisa menerima saran atau teknik-teknik baru. Misalnya, saya punya teknik-teknik tertentu dalam berhitung, yang selalu saya ajarkan pada anak-anak. Tapi anak yang satu ini, selalu keukeuh menggunakan cara yang diajarkan gurunya di sekolah (yang menurut saya justru bikin pusing dan nggak efektif untuk berhitung bilangan-bilangan besar). Ya sudah, saya biarkan ia menggunakan caranya sendiri, sambil tetap saya selipkan satu-dua cara saya.

Kesimpulan saya, mengajarkan anak orang lain itu jauuuuhhh lebih sulitt!  

Ketika mengajar anak sendiri, kita sudah memahami karakternya, kita tahu pola hariannya, kapan ia lelah, kapan ia mengantuk, dan kapan ia siap untuk belajar. Kita juga -seharusnya- lebih paham apa minatnya, bagaimana tipe belajarnya, serta bagian mana dari otaknya yang lebih aktif, kanan atau kiri. Karena kita lebih memahaminya, seharusnya kita juga lebih bisa menemukan cara yang efektif untuk membantunya belajar, dibandingkan dengan anak orang lain yang tidak kita asuh sehari-hari.

So, mulai sekarang, jangan ragu-ragu membantunya belajar ya ibu-ibu, jangan cuma menyerahkannya pada guru privat atau bimbingan belajar, sementara di rumah, lempar-lemparan sama si ayah.. "Ih udah belajar sama ayah sana!".. "Ibu nih gimana? ayah banyak kerjaan nih! Sama ibu aja gih!"...
Tinggal si anak yang tepok jidat.. Capee deehh..


Peace! :))